Ayo Sekolah di KMHDI
Mengapa sekolah? dimana? kapan? sekolah berasal dari kata scolae, skhole, scola. Semuanya berarti leisure devoted to learning = waktu luang yang digunakan untuk belajar. Berawal dari kebiasaan orang-orang Yunani, untuk mengunjungi tempat-tempat ataupun orang pandai utk menanyakan hal-ikwal tertentu yang ingin mereka ketahui. Mereka belajar dimana saja, dan kepada siapa saja. Sederhananya, setiap tempat bisa menjadi sekolah, dan setiap orang bisa menjadi guru asalkan memiliki pengetahuan.
Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan menyita waktu, ayah dan ibu tak lagi punya waktu utk memberikan pengetahuan kpd anak-anak.Kemudian, mereka mulai menitipkan anak kepada lembaga pengasuhan anak, sebagai pengganti ibu dan ayah.Lembaga ini dikenal kemudian sebagai almamater. Dalam perkembangannya, John Amos Comenius melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan secara sistematis dan metodis. Seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi melangkah lebih jauh dgn mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang yg harus mereka lalui secara bertahap. Begitulah, skhole menjadi tradisi yg mendunia dg berbagai bentuk dan pengembangan. Tetapi konon khabarnya, bangsa Cina sudah memulai tradisi sejenis sejak 2000 tahun sebelum Jesus lahir. Juga, kaum Brahmin di India sudah membangun Sekolah Veda setengah abad sesudahnya. Bagaimana dgn bangsa kita? tradisi sekolah di nusantara banyak dipengaruhi anak benua India, dan juga Arab. Lalu penjajahan mewariskan kepada kita tradisi kolonial melalui politik balas budi. Dan sekarang, dengan perkembangan informasi dan teknologi abad 21, mendengar kata sekolah, apa yg anda bayangkan?
KMHDI adalah sekolah.
Wow! gedung, seragam, SPP, kurikulum, ijasah, wisuda?
Sebelum melangkah lebih lanjut, mari kita simak pemikiran, Paulo Freire:….tidak ada pendidikan yg netral.
Richard Shaull menjelaskan, pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yg sedang berlaku dan menghasilkan kesesuaian terhadapnya, atau ia menjadi`praktek kebebasan`, yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif dgn realitas, serta menemukan bagaimana cara berperan-serta untuk mengubah dunia mereka.
Lalu bagaimana dengan KMHDI? Apa peran kita dalam pendidikan generasi muda?
KMHDI,sebagaimana salah satu visinya sebagai alat pendidikan kader tentu wajib berperan disini.
Bagaimana kita membangun pendidikan di KMHDI secara kritis, dialektis, dan membebaskan?
KADERISASI. Itulah jawabannya.
Kaderisasi KMHDI ialah proses pendidikan jangka panjang untuk menanamkan nilai-nilai/pengetahuan kepada seorang Kader.
Disini kita mengutamakan pendidikan yang kritis. Mahasiswa dibimbing supaya struktur sosial, budaya, agama, politik tidak diterima begitu saja tetapi justru dipersoalkan. Pendidikan kritis tidak dipaksakan dengan teori-teori dari atas. Dengan cara dialogis pengajar dan siswa memulai dengan pengalaman dan pengetahuan bersama. Pengajar dan siswa adalah subyek. Obyeknya adalah realitas yang ada di masyarakat/sekeliling kita. Interaksi pengajar dan siswa dalam proses belajar ini dilakukan sebagai proses yang terus menerus sebagai tujuan untuk mencapai visi KMHDI.
Dengan semua hal diatas, apakah sistem pendidikan kita menjadi netral ? Tidak. KMHDI tidak bebas nilai. KMHDI berpihak kepada nilai-nilai bersama, yaitu: religiusitas, nasionalisme, humanis, dan pemikiran yg progesif.
Lalu bagaimana dengan ijazah, SPP, gedung, seragam sekolah, wisuda ?
Saya juga bingung dengan pertanyaan ini, hehe. Apakah kita masih membutuhkan?
Yang jelas: KAWAN-KAWAN, AYO SEKOLAH !!
AYO SEKOLAH di KMHDI x 89!
Tulisan ini mengambil ide-ide dari:
1)Roem Topatimasang dengan bukunya: Sekolah itu candu
2)Paulo Freire dengan bukunya: Pendidikan kaum tertindas
3)Majalah Basis edisi Paulo Freire
Bacaan lebih lanjut, silakan mempelajari: Buku Pedoman Kaderisasi KMHDI.
Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan menyita waktu, ayah dan ibu tak lagi punya waktu utk memberikan pengetahuan kpd anak-anak.Kemudian, mereka mulai menitipkan anak kepada lembaga pengasuhan anak, sebagai pengganti ibu dan ayah.Lembaga ini dikenal kemudian sebagai almamater. Dalam perkembangannya, John Amos Comenius melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan secara sistematis dan metodis. Seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi melangkah lebih jauh dgn mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang yg harus mereka lalui secara bertahap. Begitulah, skhole menjadi tradisi yg mendunia dg berbagai bentuk dan pengembangan. Tetapi konon khabarnya, bangsa Cina sudah memulai tradisi sejenis sejak 2000 tahun sebelum Jesus lahir. Juga, kaum Brahmin di India sudah membangun Sekolah Veda setengah abad sesudahnya. Bagaimana dgn bangsa kita? tradisi sekolah di nusantara banyak dipengaruhi anak benua India, dan juga Arab. Lalu penjajahan mewariskan kepada kita tradisi kolonial melalui politik balas budi. Dan sekarang, dengan perkembangan informasi dan teknologi abad 21, mendengar kata sekolah, apa yg anda bayangkan?
KMHDI adalah sekolah.
Wow! gedung, seragam, SPP, kurikulum, ijasah, wisuda?
Sebelum melangkah lebih lanjut, mari kita simak pemikiran, Paulo Freire:….tidak ada pendidikan yg netral.
Richard Shaull menjelaskan, pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana yang digunakan untuk mempermudah integrasi generasi muda ke dalam logika dari sistem yg sedang berlaku dan menghasilkan kesesuaian terhadapnya, atau ia menjadi`praktek kebebasan`, yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif dgn realitas, serta menemukan bagaimana cara berperan-serta untuk mengubah dunia mereka.
Lalu bagaimana dengan KMHDI? Apa peran kita dalam pendidikan generasi muda?
KMHDI,sebagaimana salah satu visinya sebagai alat pendidikan kader tentu wajib berperan disini.
Bagaimana kita membangun pendidikan di KMHDI secara kritis, dialektis, dan membebaskan?
KADERISASI. Itulah jawabannya.
Kaderisasi KMHDI ialah proses pendidikan jangka panjang untuk menanamkan nilai-nilai/pengetahuan kepada seorang Kader.
Disini kita mengutamakan pendidikan yang kritis. Mahasiswa dibimbing supaya struktur sosial, budaya, agama, politik tidak diterima begitu saja tetapi justru dipersoalkan. Pendidikan kritis tidak dipaksakan dengan teori-teori dari atas. Dengan cara dialogis pengajar dan siswa memulai dengan pengalaman dan pengetahuan bersama. Pengajar dan siswa adalah subyek. Obyeknya adalah realitas yang ada di masyarakat/sekeliling kita. Interaksi pengajar dan siswa dalam proses belajar ini dilakukan sebagai proses yang terus menerus sebagai tujuan untuk mencapai visi KMHDI.
Dengan semua hal diatas, apakah sistem pendidikan kita menjadi netral ? Tidak. KMHDI tidak bebas nilai. KMHDI berpihak kepada nilai-nilai bersama, yaitu: religiusitas, nasionalisme, humanis, dan pemikiran yg progesif.
Lalu bagaimana dengan ijazah, SPP, gedung, seragam sekolah, wisuda ?
Saya juga bingung dengan pertanyaan ini, hehe. Apakah kita masih membutuhkan?
Yang jelas: KAWAN-KAWAN, AYO SEKOLAH !!
AYO SEKOLAH di KMHDI x 89!
Tulisan ini mengambil ide-ide dari:
1)Roem Topatimasang dengan bukunya: Sekolah itu candu
2)Paulo Freire dengan bukunya: Pendidikan kaum tertindas
3)Majalah Basis edisi Paulo Freire
Bacaan lebih lanjut, silakan mempelajari: Buku Pedoman Kaderisasi KMHDI.
Labels: Hindu
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home