Menggagas kembali Nasionalisme kita
NASIONALISME,secara umum dirumuskan sebagai sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya,bahasa,dan wilayah, sertakesamaan cita-cita dan tujuan. Nasionalisme Indonesia,sebagai sebuah bangsa yang besar meliputi beragam budaya,bahasa,dan wilayah dari Sabang hingga Merauke, tentulah bukan nasionalisme yang statis. Dan tak dapat kita hindari, bahwa dalam konteks sejarah bangsa ini,diwarnai oleh beragam pemikiran dan ideologi manusia yang mengambil gagasan-gasan religius dan juga sekuler baik dari dalam ataupun luar negeri.
Ia ialah nasionalisme yang diciptakan, karena melewati proses dialektika dan interpretasi bangsa ini selama berabad-abad,dari masyarakat tradisional ke masyarakat kolonial menuju masyarakat pasca kolonial,hingga modern seperti saat ini.Fase awal Nasionalisme kita,ialah Nasionalisme Indonesia Pra kemerdekaan,dalam buku-buku sejarah kita mengenalnya sebagai wujud patriotisme melawan kolonialisme. Secara umum semangat nasionalisme kita saat itu juga tidak terlepas dari kebangkitan bangsa-bangsa Eropa abad 18 dan 19,yang secara tidak langsung membawa pengaruh kepada kaum terpelajar kita untuk juga merumuskan nasionalisme bagi Indonesia. Sumpah Pemuda,adalah tonggak awal nasionalisme Indonesia.Nasionalisme kita bukan lagi nasionalisme etnis yang terbatas pada satu kelompok etnis tertentu. Nasionalisme dipandang sebagai alat bersama untuk bangkit bersatu memerdekakan diri. Nasionalisme Pasca Kemerdekaan,ialah konsep yang tumbuh secara prematur. Ia muncul sebagai upaya untuk membentuk sebuah negara,dimana kesetiaan pada suku,kedaerahan (Jong Java,Jong Celebes,dan sebagainya) digantikan dengan konsep nasional.
Hal baik yang dirasakan saat itu ialah rasa senasib dan solidaritas horizontal masih kental, meski beberapa kali muncul gerakan separatis yang diselesaikan dengan cara militer. Fase berikutnya, Nasionalisme Orde Baru.
Pada masa Orde Baru,Nasionalisme kita berubah menjadi jargon"Persatuan"dan "Kesatuan". Siapapun yang dicurigai membahayakan kepentingan negara dan pemerintah, dianggap melawan upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya, nasionalisme tidak tumbuh sebagai kesadaran hidup kenegaraan dari masyarakat warga. Dengan legitimasi dan jargon persatuan, rakyat Indonesia menjadi tertindas di negaranya sendiri dimana TNI / Polri yang seharusnya menjadi pengayom rakyat tak lebih adalah alat kekuasaan negara. Berawal dari sini muncul pelanggaran HAM, yang sayangnya diyakini oleh penguasa dan TNI/Polri tak lebih dari wujud kesetiaan kepada Nasionalisme dan tanah air Indonesia.
Lalu kini di masa reformasi,bagaimanakah wajah nasionalisme kita?pendekatan keamanan bangsa dengan laras senapan ibarat menyimpan api dalam sekam.Dengan jatuhnya rezim otoriterian, potensi konflik komunal bermunculan, Timor Timur berpisah dari kita,separatisme bermunculan di beberapa daerah,hingga pengiriman ribuan tentara ke Aceh yang tak kunjung usai. Reformasi yang digembar-gemborkan kemarin sudah mati suri. Ia tidak lebih baik dari interpretasi nasionalisme dibawah Soekarno ataupun Soeharto dengan IdeologiPancasila-nya. Nasionalisme kita hingga saat ini hanya sebatas mitos,benar ia telah mengantar kita kepada kemerdekaan. Tetapi setelahnya, kita merasionalisasikan nasionalisme kedalam jargon-jargon tidak bernyawa, yang mengantarkan bangsa ini menuju jurang. Kita seakan lupa substansi dari nasionalisme awalnya adalah sebuah perbedaan-perbedaan. Kita lupa untuk memberi ruang kebebasan pada masing-masing budaya, kelompok, bahasa sebagai ranah kebangsaan. Dan kini,nasionalisme kita terjepit diantara globalisasi dan etnisitas. Disatu sisi globalisasi mengikis batas-batas negara,serta mendesakkan uniformitas secara universal. Disisi lain antitesis globalisasi bermunculan dalam bentuk lokalitas-lokalitas khas etnisitas. Semuanya ini seakan membuktikan nujum Naisbitt,Global Paradox. Apakah masih ada masa depan bagi nasionalisme kita?
Benedict Anderson, dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun yang lalu mengemukakan, kontinuitas Indonesia sebagai sebuah bangsa sangat tergantung pada sejauh mana kebesaran jiwa bangsa Indonesia menghadapi dirinya sebagai bangsa yang majemuk. Sebab nasionalisme merupakan sebuah"proyek"bersama yang harus terus diperjuangkan. Dan, nasionalisme bukanlah warisan yang harus dibela mati-matian dengan kekerasan,karena ia berawal dari perasaan senasib sepenanggungan dan solidaritas sebagai bangsa. Masa depan,menuntut semua komponen bangsa ini untuk berbhakti.
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), adalah bagian dari bangsa Indonesia. KMHDI telah menekankan kepada seluruh kadernya untuk berpartisipasi dalam pembentukan negara bangsa dengan menerjemahkan nasionalisme sebagai perwujudan dari Dharma Negara. Semua fase dalam kehidupan bangsa ini, mengajarkan kepada kita bahwa nasionalisme harus dibangun diatas tanah air kita yang pluralis, dengan semangat kemanusiaan, religiusitas dan bagi kita (umat Hindu) sebagai sebuah Dharma. Semoga hari esok akan menjadi indah bagi nasionalisme kita.
Ia ialah nasionalisme yang diciptakan, karena melewati proses dialektika dan interpretasi bangsa ini selama berabad-abad,dari masyarakat tradisional ke masyarakat kolonial menuju masyarakat pasca kolonial,hingga modern seperti saat ini.Fase awal Nasionalisme kita,ialah Nasionalisme Indonesia Pra kemerdekaan,dalam buku-buku sejarah kita mengenalnya sebagai wujud patriotisme melawan kolonialisme. Secara umum semangat nasionalisme kita saat itu juga tidak terlepas dari kebangkitan bangsa-bangsa Eropa abad 18 dan 19,yang secara tidak langsung membawa pengaruh kepada kaum terpelajar kita untuk juga merumuskan nasionalisme bagi Indonesia. Sumpah Pemuda,adalah tonggak awal nasionalisme Indonesia.Nasionalisme kita bukan lagi nasionalisme etnis yang terbatas pada satu kelompok etnis tertentu. Nasionalisme dipandang sebagai alat bersama untuk bangkit bersatu memerdekakan diri. Nasionalisme Pasca Kemerdekaan,ialah konsep yang tumbuh secara prematur. Ia muncul sebagai upaya untuk membentuk sebuah negara,dimana kesetiaan pada suku,kedaerahan (Jong Java,Jong Celebes,dan sebagainya) digantikan dengan konsep nasional.
Hal baik yang dirasakan saat itu ialah rasa senasib dan solidaritas horizontal masih kental, meski beberapa kali muncul gerakan separatis yang diselesaikan dengan cara militer. Fase berikutnya, Nasionalisme Orde Baru.
Pada masa Orde Baru,Nasionalisme kita berubah menjadi jargon"Persatuan"dan "Kesatuan". Siapapun yang dicurigai membahayakan kepentingan negara dan pemerintah, dianggap melawan upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Akibatnya, nasionalisme tidak tumbuh sebagai kesadaran hidup kenegaraan dari masyarakat warga. Dengan legitimasi dan jargon persatuan, rakyat Indonesia menjadi tertindas di negaranya sendiri dimana TNI / Polri yang seharusnya menjadi pengayom rakyat tak lebih adalah alat kekuasaan negara. Berawal dari sini muncul pelanggaran HAM, yang sayangnya diyakini oleh penguasa dan TNI/Polri tak lebih dari wujud kesetiaan kepada Nasionalisme dan tanah air Indonesia.
Lalu kini di masa reformasi,bagaimanakah wajah nasionalisme kita?pendekatan keamanan bangsa dengan laras senapan ibarat menyimpan api dalam sekam.Dengan jatuhnya rezim otoriterian, potensi konflik komunal bermunculan, Timor Timur berpisah dari kita,separatisme bermunculan di beberapa daerah,hingga pengiriman ribuan tentara ke Aceh yang tak kunjung usai. Reformasi yang digembar-gemborkan kemarin sudah mati suri. Ia tidak lebih baik dari interpretasi nasionalisme dibawah Soekarno ataupun Soeharto dengan IdeologiPancasila-nya. Nasionalisme kita hingga saat ini hanya sebatas mitos,benar ia telah mengantar kita kepada kemerdekaan. Tetapi setelahnya, kita merasionalisasikan nasionalisme kedalam jargon-jargon tidak bernyawa, yang mengantarkan bangsa ini menuju jurang. Kita seakan lupa substansi dari nasionalisme awalnya adalah sebuah perbedaan-perbedaan. Kita lupa untuk memberi ruang kebebasan pada masing-masing budaya, kelompok, bahasa sebagai ranah kebangsaan. Dan kini,nasionalisme kita terjepit diantara globalisasi dan etnisitas. Disatu sisi globalisasi mengikis batas-batas negara,serta mendesakkan uniformitas secara universal. Disisi lain antitesis globalisasi bermunculan dalam bentuk lokalitas-lokalitas khas etnisitas. Semuanya ini seakan membuktikan nujum Naisbitt,Global Paradox. Apakah masih ada masa depan bagi nasionalisme kita?
Benedict Anderson, dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun yang lalu mengemukakan, kontinuitas Indonesia sebagai sebuah bangsa sangat tergantung pada sejauh mana kebesaran jiwa bangsa Indonesia menghadapi dirinya sebagai bangsa yang majemuk. Sebab nasionalisme merupakan sebuah"proyek"bersama yang harus terus diperjuangkan. Dan, nasionalisme bukanlah warisan yang harus dibela mati-matian dengan kekerasan,karena ia berawal dari perasaan senasib sepenanggungan dan solidaritas sebagai bangsa. Masa depan,menuntut semua komponen bangsa ini untuk berbhakti.
Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), adalah bagian dari bangsa Indonesia. KMHDI telah menekankan kepada seluruh kadernya untuk berpartisipasi dalam pembentukan negara bangsa dengan menerjemahkan nasionalisme sebagai perwujudan dari Dharma Negara. Semua fase dalam kehidupan bangsa ini, mengajarkan kepada kita bahwa nasionalisme harus dibangun diatas tanah air kita yang pluralis, dengan semangat kemanusiaan, religiusitas dan bagi kita (umat Hindu) sebagai sebuah Dharma. Semoga hari esok akan menjadi indah bagi nasionalisme kita.
Labels: Hindu, Organisasi
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home