Thursday, June 14, 2007

Apakah kita sudah merdeka?

Budi berkacak pinggang di atas mimbar saat berorasi menentang kenaikan Rektor Kampus yang menurut penilaiannya tidak demokratis. Bapak Budi, seorang anggota DPR RI meminta hak interpelasi kepada Presiden terkait kasus Iran dan Lapindo. Ibu Budi memimpin rapat di perusahaan. Kakek Budi seorang veteran pejuang memberi petuah-petuah yang dicerna cucunya, adik Budi, sebagai dongeng yang tidak lebih bermakna dari kisah kepahlawan Superman return.

Kemerdekaan dimaknai berbeda oleh masing-masing orang. Bila kita bertanya kepada sang kakek, apa yang ia dulu rasakan dalam masa penjajahan, tentu kita sekarang patut bersyukur. Kemerdekaan ini tidak diperoleh dengan mudah. Kita belajar dari sejarah, selama 350 tahun Indonesiaa dijajah Belanda, kemudian Jepang dengan pengorbanan sebagai negeri budak belian serta dipandang sebelah mata oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Saat ini Budi, bapaknya, ibunya, adiknya menikmati kondisi berbeda. Kaum penjajah Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Jepang tidak lagi datang bersama pasukannya. Sejak tahun 1945, Sukarno – Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Betul juga, di masa Reformasi setiap orang bebas bersuara. Investasi dan pembangunan gencar diusahakan pemerintah dan swasta. Tetapi, benarkah penjajahan tidak ada lagi?

Pada masa pra kemerdekaan, Indonesia memiliki banyak kerajaan, sistem monarki dengan berbagai latar belakang suku, daerah, agama, bahasa yang berbeda-beda. Kemajemukan itu dimanfaatkan oleh pihak penjajah untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Devide et impera (politik adu domba) berhasil mematahkan semua pemberontakan yang dilakukan secara sepihak oleh golongan-golongan pribumi bahkan tak jarang peperangan terjadi antara bangsa sendiri.

Fase awal Nasionalisme mulai tumbuh berawal dari kesadaran para pemuda terpelajar yang mendorong terselenggaranya Kongres I Boedi Oetomo di Yogyakarta (3-5 Oktober 1908), lalu bersama-sama para pemuda Indonesia yang tergabung di berbagai organisasi pemuda mengadakan kongres kedua, yang terakhir dengan apa yang kini dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda. Saat itu mereka dengan gelora jiwa yang baru bersumpah sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Secara umum semangat nasionalisme kita saat itu juga tidak terlepas dari kebangkitan bangsa-bangsa Eropa abad 18 dan 19, yang secara tidak langsung membawa pengaruh kepada kaum terpelajar kita untuk juga merumuskan nasionalisme bagi Indonesia. Sumpah Pemuda, adalah tonggak awal nasionalisme Indonesia.Nasionalisme kita bukan lagi nasionalisme etnis yang terbatas pada satu kelompok etnis tertentu. Nasionalisme dipandang sebagai alat bersama untuk bangkit bersatu memerdekakan diri. Nasionalisme Pasca Kemerdekaan, ialah konsep yang tumbuh secara prematur. Ia muncul sebagai upaya untuk membentuk sebuah negara, dimana kesetiaan pada suku, kedaerahan (Jong Java, Jong Celebes, dan sebagainya) digantikan dengan konsep nasional.
Pada masa pendudukan Jepang, para pemuda aktif membangun gerakan bawah tanah dengan cara menyusup ke dalam organisasi-organisasi bentukan Jepang, seperti Heiho, Peta, Seinendan, Kaigun, Barisan Pelopor, bahkan juga masuk Ken Pei Tai (Polisi Rahasia Jepang). Bentuk penyusupan mereka adalah dengan bekerja di lembaga-lembaga Jepang tersebut. Mereka yang bekerja di dalam diwajibkan menanam sel-sel yang akan menjadi tambahan kekuatan para pemuda selain juga untuk mendapatkan informasi tentang siapa yang akan ditangkap Ken Pei Tai. Sementara mereka yang tidak menyusup, aktif merekrut para pemuda dengan mendatangi rumah-rumah atau tempat kerja mereka dan menyebarkan berbagai bacaan untuk menjadi bahan diskusi atau mendirikan organisasi antifasis di bawah tanah.
Organisasi massa Pusat Tenaga Rakjat (Putera) dengan anggota-anggota yang berasal dari beberapa daerah dan didirikan atas inisiatif Soekarno setelah ia dipulangkan ke Jawa oleh Jepang. Tujuan pendirian ini untuk menanamkan jiwa kemerdekaan di kalangan rakyat. Upaya ini mendapat sambutan dari rakyat dan semangat kemerdekaan menggelora. Dalam perkembangannya, pemerintah Jepang ketakutan sendiri dengan organisasi bentukannya ini sehingga setelah 10 bulan berdiri lembaga ini dibubarkan dan diganti dengan Djawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakjat). Meskipun Soekarno masih memimpin Putera, namun karakternya bukan lagi seperti Putera sehingga tidak banyak yang terlibat di dalamnya. Selain itu, di beberapa tempat berdiri organisasi-organisasi yang menentang fasisme Jepang, al: Barisan Pemuda Gerindo — sayap pemuda dari Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) — Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), Barisan Rakjat Indonesia (BRI), di Solo, Yogya, dan Purwodadi. Maksud pendiriannya sebagai kedok membantu Jepang selama masa pendudukan, sedangkan di dalam organisasi ini para pengurusnya berusaha menghimpun para pemuda lain dan menyusun kekuatan massa.
Selain dari organisasi-organisasi diatas, para pemuda juga mendapatkan pendidikan politik di beberapa asrama, yaitu Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31 yang dipimpin oleh Sukarni dan Chaerul Saleh serta Asrama Indonesia Merdeka di bawah pimpinan Wikana dengan dibantu oleh Aidit dan Samsudin. Asrama-asrama yang semula dibangun oleh Jepang dengan perantaraan beberapa pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Hatta, dan Mr Subardjo kemudian berkembang menjadi tempat debat politik menuju kemerdekaan. Puncaknya setelah melalui drama penculikan Rengasdengklok oleh Sukarni,dkk Soekarno-Hatta membacakan teks Proklamasi kemerdekaan atas nama seluruh bangsa Indonesia. Meski saluran komunikasi radio, masih sepenuhnya dikuasai Jepang, tidak berarti momen tersebut sia-sia. Naskah proklamasi yang telah diperbanyak disebarkan sampai ke pelosok negeri. Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda masih terus aktif membangun gerakan, terutama untuk mengusir Jepang dan Sekutu.
Sukarno, menjadi presiden Indonesia pertama. Beliau mewarisi slogan “Revolusi belum selesai” dan sikap berdikari berdiri di kaki sendiri daripada mengemis pada modal asing dan didikte karenanya: "Go to hell with your aid!”. Orasi-orasinya yang menggelegar ditutup dengan tragedi terburuk negeri ini saat jutaan manusia Indonesia saling membunuh, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi tertuduh tunggal pelaku kejahatan tersebut.
Kontras dengan sikap presiden selanjutnya yang mengidolakan pembangunan di segala bidang melalui modal pinjaman asing, seiring dengan menumpuknya utang, ditutupnya kran demokrasi yang akhirnya berbuah tragedi kemanusian Mei 98 saat ribuan etnis tionghoa menjadi korban kekerasan dan krisis ekonomi berkepajangan hingga sekarang.
Presiden Habibie, yang menggantikan Suharto kemudian melepas Timor- Timur menjadi negara merdeka, bukti ketidaksanggupan negeri ini memberi penghidupan yang lebih baik terhadap keamanan dan kesejahteraan hidup mereka. Gus Dur, dan Megawati membuka kran demokrasi, salah satunya melalui Pemilu yang memberi legitimasi kuat kepada Presiden sekarang Susilo Bambang Yudhoyono. Banyak hal yang sudah terjadi dalam hak-hak warga negara dan kewajiban pemerintah yang mulai dijalankan. Tetapi kemerdekaan di negeri ini belumlah dapat dinikmati seluruh bangsa. Mengutip syair Rendra: bukankah kemerdekaan yang sempurna itu adalah kemerdekaan negara dan bangsa? Negara anda sudah merdeka, tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?
Masih hangat dalam berita, di Riau sebuah keluarga mati bunuh diri. Seoarang suami, istri yang sedang hamil delapan bulan dan tiga orang anak bersama-sama mengkonsumsi racun. Kematian yang dipicu karena alasan ekonomi keluarga yang tidak lagi mampu menahan beban hidup sehari-hari (Kompas, 9 Juni 2007). Sementara tak kurang dari 2.000 keluarga atau sekitar 7.000 jiwa korban lumpur panas di Sidoarjo masih terkatung-katung hidup dan mata pencahariannya akibat ketidakpastian penyelesaian kasus warga dan Lapindo Brantas. Di bidang pendidikan, biaya sekolah semakin tinggi. Dunia pendidikan Indonesia lebih menjadi komoditi bisnis, elitis dan jauh dari realitas yang dibutuhkan masyarakat. Sarjana yang dihasilkan hanya mengejar gelar tanpa kualitas yang mampu bersaing, terbukti kualitas SDM-nya ada di ranking 112 dunia di bawah Vietnam yang baru merdeka. Pendidikan yang buruk tidak dapat memberi kemandirian secara sosial dan ekonomi kepada rakyat, dan sekali lagi bangsa yang mengaku relijius ini menempati rangking tinggi dalam hal korupsi.
Melimpahnya kekayaan sumber daya alam Indonesia, pertambangan, kelautan, kehutanan dan perkebunan menghasilkan ironi dengan rendahnya pendapatan per kapita di bawah 1.000 dollar AS , dan Indonesia menjadi bangsa pengimpor beras terbesar di dunia yang mencapai 3,7 juta ton/tahun, hal yang juga terjadi pada gula, kedelai, dan garam. Belum lagi harga minyak goreng yang sedang mencekik leher ibu-ibu rumah tangga. Ironi jika bukan tragedi di negeri yang kaya dengan kelapa sawitnya. Kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), ketidakadilan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya adalah realitas sehari-hari.
Kata: merdeka, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun WJS Poerwadarminta, berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, dan lain sebagainya. Negara Indonesia secara formal memang telah merdeka, tetapi tujuan awal kemerdekaan seperti menyejahterakan rakyat, mencerdaskan bangsa, dan memberi kemerdekaan pada keanekaragaman masih belum tercapai. Soekarno, salah satu founding father, jauh hari menyatakan kemerdekaan hanya jembatan emas.
Candu spiritualitas ternyata tidak membantu melawan realitas. Bangsa yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab ini – too good to be true. Meski ia cukup lelah dengan derita, bencana alam, dan air mata.
Kini hampir 62 tahun usia kemerdekaan Indonesia, dan setiap tahun kata-kata: Merdeka! diucapkan oleh kaum nasionalis atau orang-orang yang sekedar merayakannya. Sesungguhnya kemerdekaan apa yang kita inginkan? Tak lebih dari keadilan dan kemakmuran.
Anda mungkin telah merdeka. Negara ini telah merdeka. Tapi yang pasti bangsa Indonesia belum merdeka. Saya tidak memiliki kompetensi untuk menggurui, tetapi kita semua bisa belajar dari para pejuang kemerdekaan negeri ini. Ketika harapan bersanding dengan kenyataan? Saya hanya mampu hormat setengah tiang.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Google