Friday, April 27, 2007

Marketing Hindu (1)

Bawalah Warta Gembira ke seantero dunia,
Tetapi tanpa mengangkat pedang dan tombak,
Dan jika engkau bertemu rumah-ibadah
Jadikanlah ia perlambang damai antar umat!
(Karl May)

Setidaknya ada 3 alasan mengapa marketing Hindu:
1. Hindu, Heritage brand
2. Rethinking Hindu
3. Marketing [Hindu] itu penting

Hindu, Heritage brand

Seorang menteri agama pada masa Orde Baru pernah mengatakan, agama Hindu sulung diantara agama-agama yang ada dan berkembang di Indonesia. Jikapun kita menengok sejarah, pendapat tersebut tidaklah salah, agama Hindu sudah tercatat pada abad ke-4 di kerajaan Kutai. Kemudian berkembang di hampir semua kepulauan Nusantara, sebelum akhirnya berangsur-angsur surut seiring tenggelamnya kejayaan kerajaan Majapahit. Sejak abad ke 17, Hindu dan Budha mulai digantikan Islam dan Kristen di banyak wilayah. Terlepas dari alasan dan kondisi apa yang menyebabkan perpindahan keyakinan tersebut, budaya adiluhung yang berakar dari agama sulungnya masih belum bisa tergantikan. Sejauh mana budaya Hindu menjiwai masyarakat kontemporer masih kita temukan dari nama-nama seperti: Dharma, Wisnu, Panca, Satrya, Yoga, Widhi, Gayatri, Rama, Broto dstnya. Meskipun keyakinan orangtuanya bukan lagi sebagai Hindu, tetapi nama yang diberikan kepada seorang anak tetaplah sebuah pengharapan, keinginan. Demikian pula istilah-istilah seperti : Karma, Upacara hingga dasar negara, yang oleh seorang sejarawan dikatakan sebagai kontrak berdirinya Negara ini masih tetap Pancasila, lambang negara burung Garuda, dengan semboyan : Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam istilah marketing, agama Hindu telah menjadi Heritage brand. Kekayaan budaya yang diwariskan turun temurun. Dalam setiap generasi Hindu setia mengawal nilai-nilai budaya bangsa. Nilai positifnya adalah budaya Hindu akan tetap ada. Sedangkan sisi negatifnya ada kekhawatiran heritage brand ini akan menjadi generic brand. Hindu hanya dikenal sebagai sebuah kebudayaan, dengan pengertian yang sempit.
Kita mengenal berbagai merk pasta gigi, al: pepsodent, formula, ciptadent dsbnya tetapi ketika berbelanja yang seringkali dikatakan adalah odol (nama merk lama). Contoh lain, air minum dalam kemasan, kita menyebutnya Aqua meski dipasaran ada berbagai merk: aqua, ades, club, vit, dsbnya. Di Bali, ibu saya selalu menyebut sepeda motor apapun merk mereka dengan satu kata: Honda. Begitu kuat nama-nama tersebut melekat, sampai tanpa sadar tergerus menjadi istilah umum.
Pewayangan, sebagai produk budaya diakui sebagai milik bangsa Indonesia, tetapi nilai-nilai Hindu didalamnya sedikit demi sedikit diambil alih bahkan digantikan. Kita belajar dari sejarah ketika wayang menjadi alat siar agama Islam yang sangat efektif. Dan kini, di koran pun kita bisa membaca wayang opo maneh (Jawa Pos) ketika Itihasa menjadi parodi kehidupan modern. Di Bali nama Yesus menjadi Sang Hyang Yesus, dsbnya telah merubah watak kita menjadi penurut, dan cenderung mengiyakan ketika heritage diambil alih secara halus bahkan pasrah ketika anak cucu mereka beralih keyakinan karena lugu menghargai semua agama adalah sama (kesamen).
Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?

Pemeluk agama Hindu kurang melakukan aktifitas marketing Hindu. Atau bisa dikatakan hampir tidak ada. Mayoritas pemeluk Hindu menganggap menjadi Hindu sebagai given, sesuatu yang diwarisi. Tanpa usaha lebih jauh untuk melestarikan apalagi mengembangkan. Agama-agama lain, seperti Kristen sangat kuat dengan Missionaris-nya, Islam dengan Dakwah (syiar) nya, selain itu mereka juga ditunjang dengan sistem pendidikan dan doktrin yang kuat tentang penyebarluasan ajaran agama.
Sebaliknya di Hindu kita masih berdebat tentang upacara beserta aksesorisnya, dikotomi warna/wangsa, dan yang terakhir apakah Hindu agama misi?
Berbeda dengan pengertian Marketing pada umumnya yang cenderung disalahpahami sebagai aktivitas penipuan, membujuk, bahkan mungkin memaksa sebelum akhirnya customer kecewa, aktivitas marketing Hindu adalah sebuah konsep strategis yang memberikan kepuasan berkelanjutan kepada internal customers dan juga ekternal customers-nya. Internal customers adalah pemeluk agama Hindu dari semua lapisan masyarakat, sedangkan eksternal customers adalah non Hindu, pemerintah, swasta, berbagai kelompok masyarakat yang tidak dapat kita pisahkan dalam kehidupan berbangsa / bernegara. Sejauh yang saya ketahui umat Hindu Indonesia tidak pernah bermasalah dengan ekternal customers-nya, kita cenderung menjadi anak manis meski dalam hal usia, keyakinannya sulung diantara yang lain. Tidak pernah ada kasus proselitasi atau konversi agama oleh umat Hindu.
Ketika program KB (cukup dua anak dalam keluarga) digulirkan pemerintah, Bali adalah provinsi yang paling berhasil. Dapat dikatakan sejak dulu kala, umat Hindu memberikan kepuasan berkelanjutan dalam perjalanan bangsa.
Sebaliknya bagi internal customers-nya, nyaris tidak ada aktivitas marketing yang dilakukan. Seperti uraian sebelumnya, seseorang menjadi Hindu lebih karena faktor keturunan, given.
Marketing Hindu tidak dengan hasutan, uang, bujukan melalui satu-satunya jalan keselamatan. Marketing Hindu tidak dengan perang dan kekerasan, tidak dengan ancaman menjadi kafir dsbnya.
Marketing Hindu menjawab pertanyaan apakah Hindu agama misi. Marketing Hindu seperti yang dilakukan Rsi Agastya ketika mengembangkan ajaran Hindu di Indonesia, seperti Swami Vivekananda melakukan misinya ke Amerika, juga seperti Gandhi mengenalkan nilai-nilai ahimsa, swadesi di India. Seeing is believing, atau believing is seeing, tidak peduli dalam level keyakinan apa kita saat ini yang diperlukan adalah membaca kembali buku-buku agama, berkaca pada perilaku para tokoh agama Hindu, mengamati pelaksanaan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari, kemudian melihat ke dalam diri. Apakah kita beragama Hindu?
Seorang marketer (pemasar) Hindu yang baik adalah seorang internal customer yang bangga menjadi Hindu. Seseorang yang mengenal ajaran agamanya, meyakini, dan melaksanakannya.
Jika kita mengenal istilah maintenance, sebagai aktivitas untuk menjaga performa asset, produk atau jasa itulah yang seharusnya kita lakukan bersama-sama. PHDI, dan ormas-ormas keagamaan harus bersinergi untuk mengenalkan sekaligus memberi teladan pelaksanaan ajaran Hindu yang benar kepada umat.
Keluarga, sebagai unit terkecil adalah penentu keberlangsungan Hindu sebagai heritage brand atau tergerus menjadi generic brand.
Akankah esok saudara kita sembahyang di mesjid? Atau anak kita memuja Sang Hyang Yesus ?
Jika saat ini kita masih bangga menjadi Hindu, mari jaga Hindu sebagai warisan keluarga karena terbukti sejak awal – yang bahkan kita tidak tahu awalnya – tetap terjaga hingga anak cucu kita kelak.


Rethinking Hindu
(bersambung)

Labels: ,

1 Comments:

Blogger inHishand said...

Saya berdiskusi dalam dunia internet dengan seorang Hindu, saya sendiri seorang Nasrani. Saya hanya mengatakan bahwa sejarah dunia telah membuktikan bahwa kerajaan kerajaan Hindu akhirnya terlibas. Bukankah seharusnya Hindu menjadi besar di Indonesia, tetapi mengapa umatnya begitu sedikit saat ini. Bukankah ada yang kurang pas di dalamnya.
Berabad abad India yang Hindu tidak memiliki raja Hindu, tetapi raja dari Arab dan Mongol yang beragama Islam. Kerajaan Mongol terakhir yang dipimpin Bahadur Shah, direbut dan saya melihat bahwa kedatangan Inggris di India sebagai Blessing in disguise, karena kemungkinan nasib HIndu bisa sama kondisinya dengan di Indonesia, bila saja tahun 1857 Inggris tak datang menjajah India.
Meskipun banyak yang menuding Inggris sebagai penjajah dan diburukkan, tetapi secara objektif kita harus akui bahwa tanpa penjajahan Inggris, maka agama Hindu sangat mungkin makin sedikit di dunia.

Fakta ini mungkin saja terdengar menyakitkan bagi umat Hindu, tetapi sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Hindu entah mengapa tidak bertahan lama?

Meskipun banyak umat baik dari Hindu maupun Islam mengatakan bahwa penjajah melakukan kristenisasi , maka saya justru melihat bahwa penjajah Inggris justru telah berhasil menghindukan kembali India.

Salam damai.

March 19, 2009 at 11:05 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Google