Tuhan sudah mati [?]
The Madman mengatakan: “ Tuhan sudah mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
[Nietzsche, The Gay Science, seksi 125; terjermahan Walter Kaufman]
Pernyataan diatas sebaiknya jangan ditafsirkan secara harfiah. Sebagaimana dikatakan penulisnya, itu adalah perkataan orang “gila” . Orang gila yang karena sesuatu hal tidak dapat berkomunikasi kepada orang yang percaya, mungkin berguna bagi orang yang tidak percaya [atheis].
Tetapi pernyataan orang yang waras, bahkan bisa jadi lebih gila. Katanya: dunia ini dipenuhi orang gila! Karena ada yang gila uang, gila wanita/pria, gila kekuasaan, gila hormat, dsbnya. Bukankah dunia ini juga Rumah Sakit Jiwa? Lalu dimana batas antara gila dan waras?
Tuhan sudah mati, janganlah ditanggapi sebagai Tuhan secara fisik kini sudah mati. Sebaliknya inilah cara Nietzsche mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral dan teologi.
Sebagaimana umumnya ideologi keagamaan, Tuhan menempati posisi sentral dalam kepercayaan. Tidak percaya kepada Tuhan, bukanlah pandangan seorang theis. Ia otomatis atheis. Tidak percaya Tuhan berarti juga tidak percaya konsep-konsep turunannya seperti kitab suci, para rsi/nabi, pinandhita/pendeta, dan semua jenis upacara yang menyertai. Pertanyaan saya, adakah tempat dalam sebuah sistem keagamaan yang mengijinkan agama pribadi dimana kepercayaan terhadap Tuhan diikuti konsep keberadaan tuhan yang sekarat [mati]?
Dalam bahasa sekuler kita dapat katakan ada banyak tuhan di masyarakat. Ada pemeluk agama yang tuhannya adalah uang. Ada seorang pendeta yang tuhannya di siang hari adalah tuhan yang pendakwah dan malamnya ia sendiri adalah tuhan sekaligus iblis yang memperkosa gadis Tibet. Banyak juga tuhan-tuhan di pelacuran, di politik kekuasaan dsbnya.
Ada yang percaya tuhan adalah kekuatan [Muhammad Iqbal], kebenaran adalah tuhan [Gandhi]. Adakah tempat bagi tuhan-tuhan yang mati?
Bagi seorang theis tentunya tuhan tidak dapat mati. IA [huruf besar semua] ibaratnya tuhan personal, tetapi sekaligus melampauinya, sebagai sesuatu yang impersonal karena tidak dapat mati. IA antara ada dan tiada.
Bagi Nietzsche, orang gila yang mengagungkan Ubermensch [manusia unggul] sebagai pengganti tuhan, Tuhan sudah mati. Dan kita telah membunuhnya. Tentu Anda tidak akan setuju dengan pernyataan tersebut. Tetapi mengapa ia bersikeras kepada kematian Tuhan?
Nietzsche percaya bahwa ada kemungkinan positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Manusia terbebas dari belenggu sejarah agama-agama. Menjadi manusia baru, lepas dari beban masa lalu dan terlepas dari ketakutan akan api neraka. Dihadapannya dunia yang putih, dan ia lah yang akan memberi warna. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan sekaligus menakutkan.
Agama pribadi memungkinkan kematian Tuhan. Agama pribadi berjarak dengan sejarah, dan segala turunannya. Agama pribadi yang mengatakan Tuhan adalah hati nurani. Hati manusia hidup, yang berjalan dengan kaki dan logika di kepala. Yang menempatkan moralitas agama selaras dengan kehidupan, bukan sekedar hukuman.
Dan ketika, pribadi pemeluk agama ini menyaksikan orang-orang tidak menggunakan hati nurani, ia dengan khidmat mengatakan : Tuhan sudah mati.
Pribadi yang kemudian di cap The Madman. Ia yang berjalan dengan lentera dan pergi ke pasar, masuk ke gua-gua untuk memanggil para pendeta untuk segera turun ke bawah. Menyaksikan kematian Tuhan.
Saya tidak berasumsi untuk dapat menjawab dimanakah batas antara orang gila dan waras. Sebagaimana saya tidak bertendensi untuk dapat menerjemahkan pikiran Nietzsche yang seringkali disalahpahami, seperti yang pernah dilakukan Hitler. Yang saya ketahui, ada yang mengatakan orang gila ini adalah orang suci dari barat.
Orang yang dapat merasakan pikiran. Sebuah ironi jika tidak tragedi bagi orang gila di Rumah Sakit Jiwa yang sesungguhnya.
Kepada sidang pembaca, jika Anda mengabaikan hati nurani, apakah Anda mengamini telah membunuh tuhan?
[Nietzsche, The Gay Science, seksi 125; terjermahan Walter Kaufman]
Pernyataan diatas sebaiknya jangan ditafsirkan secara harfiah. Sebagaimana dikatakan penulisnya, itu adalah perkataan orang “gila” . Orang gila yang karena sesuatu hal tidak dapat berkomunikasi kepada orang yang percaya, mungkin berguna bagi orang yang tidak percaya [atheis].
Tetapi pernyataan orang yang waras, bahkan bisa jadi lebih gila. Katanya: dunia ini dipenuhi orang gila! Karena ada yang gila uang, gila wanita/pria, gila kekuasaan, gila hormat, dsbnya. Bukankah dunia ini juga Rumah Sakit Jiwa? Lalu dimana batas antara gila dan waras?
Tuhan sudah mati, janganlah ditanggapi sebagai Tuhan secara fisik kini sudah mati. Sebaliknya inilah cara Nietzsche mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral dan teologi.
Sebagaimana umumnya ideologi keagamaan, Tuhan menempati posisi sentral dalam kepercayaan. Tidak percaya kepada Tuhan, bukanlah pandangan seorang theis. Ia otomatis atheis. Tidak percaya Tuhan berarti juga tidak percaya konsep-konsep turunannya seperti kitab suci, para rsi/nabi, pinandhita/pendeta, dan semua jenis upacara yang menyertai. Pertanyaan saya, adakah tempat dalam sebuah sistem keagamaan yang mengijinkan agama pribadi dimana kepercayaan terhadap Tuhan diikuti konsep keberadaan tuhan yang sekarat [mati]?
Dalam bahasa sekuler kita dapat katakan ada banyak tuhan di masyarakat. Ada pemeluk agama yang tuhannya adalah uang. Ada seorang pendeta yang tuhannya di siang hari adalah tuhan yang pendakwah dan malamnya ia sendiri adalah tuhan sekaligus iblis yang memperkosa gadis Tibet. Banyak juga tuhan-tuhan di pelacuran, di politik kekuasaan dsbnya.
Ada yang percaya tuhan adalah kekuatan [Muhammad Iqbal], kebenaran adalah tuhan [Gandhi]. Adakah tempat bagi tuhan-tuhan yang mati?
Bagi seorang theis tentunya tuhan tidak dapat mati. IA [huruf besar semua] ibaratnya tuhan personal, tetapi sekaligus melampauinya, sebagai sesuatu yang impersonal karena tidak dapat mati. IA antara ada dan tiada.
Bagi Nietzsche, orang gila yang mengagungkan Ubermensch [manusia unggul] sebagai pengganti tuhan, Tuhan sudah mati. Dan kita telah membunuhnya. Tentu Anda tidak akan setuju dengan pernyataan tersebut. Tetapi mengapa ia bersikeras kepada kematian Tuhan?
Nietzsche percaya bahwa ada kemungkinan positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Manusia terbebas dari belenggu sejarah agama-agama. Menjadi manusia baru, lepas dari beban masa lalu dan terlepas dari ketakutan akan api neraka. Dihadapannya dunia yang putih, dan ia lah yang akan memberi warna. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan sekaligus menakutkan.
Agama pribadi memungkinkan kematian Tuhan. Agama pribadi berjarak dengan sejarah, dan segala turunannya. Agama pribadi yang mengatakan Tuhan adalah hati nurani. Hati manusia hidup, yang berjalan dengan kaki dan logika di kepala. Yang menempatkan moralitas agama selaras dengan kehidupan, bukan sekedar hukuman.
Dan ketika, pribadi pemeluk agama ini menyaksikan orang-orang tidak menggunakan hati nurani, ia dengan khidmat mengatakan : Tuhan sudah mati.
Pribadi yang kemudian di cap The Madman. Ia yang berjalan dengan lentera dan pergi ke pasar, masuk ke gua-gua untuk memanggil para pendeta untuk segera turun ke bawah. Menyaksikan kematian Tuhan.
Saya tidak berasumsi untuk dapat menjawab dimanakah batas antara orang gila dan waras. Sebagaimana saya tidak bertendensi untuk dapat menerjemahkan pikiran Nietzsche yang seringkali disalahpahami, seperti yang pernah dilakukan Hitler. Yang saya ketahui, ada yang mengatakan orang gila ini adalah orang suci dari barat.
Orang yang dapat merasakan pikiran. Sebuah ironi jika tidak tragedi bagi orang gila di Rumah Sakit Jiwa yang sesungguhnya.
Kepada sidang pembaca, jika Anda mengabaikan hati nurani, apakah Anda mengamini telah membunuh tuhan?
Labels: Hindu
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home