Wednesday, October 11, 2006

Agama untuk manusia

Saya berhutang budi pada banyak pihak yang mengambil peran bertentangan dengan para pendeta/ulama. Feurbach, melalui kritiknya: “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia.” Tuhan, agama dan segenap aksesorisnya tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan gambaran yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya. Mirip dengan dengan kritik penyembahan terhadap berhala, manusia membuat patung kemudian menyembahnya sebagai dewa.
Marx, yang mendapat pencerahan melalui kritik Feurbach kemudian melanjutkan: “Manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia. Agama adalah perealisasian hakikat manusia dalam angan-angan, sebagai tanda bahwa manusia belum berhasil merealisasikan dirinya. Agama adalah wujud keterasingan manusia dari dirinya sendiri.”

Ditengah hiruk pikuk orang-orang yang menghambur-hamburkan uang untuk kemegahan ritual agama, peperangan atas nama agama, atau yang khusyuk memuja Tuhan dan berharap jauh dari api neraka, saya mulai berpikir, manusia untuk agama? Atau agama untuk manusia?

Lalu bagaimana jika neraka, surga, atau bahkan Tuhan itu tidak ada?
jika agama yang selama ini kita yakini adalah kebohongan besar?

Silakan anda lanjutkan pertanyaan-pertanya an ini sendiri. Saya tidak akan melanjutkan lagi. Saya hanya coba berpikir mengapa saya beragama? Satu, saya beragama karena diajarkan dan sedikit dipaksakan oleh keluarga (biologis). Kedua, karena lingkungan sekitar termasuk pemerintah melalui perangkatnya mengebiri hak orang untuk tidak beragama (sosiologis) . Ketiga, dan ini yang saya rasakan sekarang,
menjadi orang beragama tidaklah buruk (privat).

Saya katakan tidak buruk bagi saya pribadi. Dalam kenyataannya saya bisa menilai menjadi umat beragama adalah buruk jika manusia menjadi budak agama. Manusia menjadi alat dari para ulama munafik, agama menjadi obat penenang bagi warga negara untuk patuh pada pemerintah yang lagi-lagi bekerjasama dengan para otoritas agama. Agama adalah buruk jika di dalamnya terkandung nilai-nilai kebencian, egosentris, dan kehancuran bagi penganut agama lainnya. Agama adalah buruk jika Tuhan nya adalah pedang, uang, kemegahan diantara penderitaan sesama.

Agama tidak buruk bagi saya, jika tidak ada yang dipancung, dipenggal kepala, dibakar hidup-hidup, disunat keyakinannya karena berbeda. Agama menjadi baik bagi saya, jika agama hanyalah jalan, pilihan saya, atau bahkan saya yang menemukannya untuk merealisasikan diri. Agama saya bukan agama anda karena kita berbeda. Tetapi saya dan anda dapat hidup bersama, sebagai manusia yang menghargai alam. Lalu Tuhan?mungkin ia ada di ujung jalan mungkin juga tidak, tetapi hukum alam akan mengajarkan bahwa semuanya berproses. Anda dan saya bisa berbeda pandangan tentang Tuhan personal ataukah impersonal, ada atau tidak ada Tuhan. Semuanya mungkin. Tidak buruk bagi saya, asalkan agama untuk manusia, bukan manusia untuk agama.

Labels:

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

menjadi org beragama adalah baik selama agama tsb tidak mengajarkan kita (& anak2 kita) untuk bermusuhan dengan pemeluk agama lain.

tapi, apakah itu mungkin?. Apa ada agama yg toleran terhadap agama lain, toleran thd atheis, menghargai prinsip2 science & reason?. Jika ada, maka agama (yg memenuhi syarat2 di atas) baru bisa disebut agama yg baik.

September 25, 2007 at 9:16 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Google