Monday, July 30, 2007

Saya dan kacamata

Sabtu itu (28/7/2007) semua berjalan seperti biasa. Setelah perjalanan 45 menit dari Sidoarjo, saya membuka pagar dan memasukkan kendaraan. Ketika mulai membuka helm, terasa ada sesuatu yang kendur di sisi hidung. Saya mulai berpikir sesuatu yang buruk telah terjadi. Lensa kacamata kendor. Saat hendak menutup pintu garasi, saya membetulkan posisi kacamata tapi pyar!! sesuatu terjatuh dan hancur berkeping-keping. Bingkai kacamata patah, dan kaca sebelah kanan menghilang. Onah, PRT, yang datang kemudian membantu membersihkan. Saya masuk kedalam rumah dengan segala pikiran dan perasaan berkecamuk jadi satu. Hanya sebaris kata, kacamata pecah, sudah cukup memantik berbagai pertanyaan dari Mitha yang sedang menyusui Gungde (anak pertama kami berusia 44 hari), dan adik yang sedang datang berkunjung.

Saya menjawab sekenanya. Pikiran kusut dan menyalahkan diri sendiri tak kunjung reda. Satu-satunya yang saya harus lakukan adalah mandi lalu segera pergi ke optik sebelum malam datang.
Helm yang tertutup rapat cukup membantu pandangan saya terjaga meskipun orang, mobil dan benda-benda dihadapan serupa bayang. ¼ buta, tapi motor ini harus terus melaju. Pengalaman sebelumnya dalam 30 menit kepala saya akan merasakan pusing karena mata dipaksakan fokus. Isi dompet yang menipis memaksa saya mampir ke ATM, menghitung besarnya rupiah yang akan saya bayarkan kemudian.

Tiba diparkiran Optik Melawai kawasan Kertajaya Surabaya, saya merasa tidak pede dengan kekurangan karena tidak bisa melihat normal. Saya tahu mereka menunggu orang-orang seperti saya. Yang berjalan gontai ke pintu masuk dan mengharapkan pertolongan pertama. Sebelum turun dari motor tangan saya meraih kacamata dari dalam tas, dan mengenakannya sebentar. Kelakuan saya saat itu bagaikan tentara yang sedang mengamati musuh dengan teropong medan. Saya hanya berusaha untuk tidak terlalu tampak tolol ketika masuk dan tidak tahu apa yang terlihat di dalam.

Dalam ruangan yang nyaman saya ke ujung mendekati seseorang yang sedang sendiri. Tapi ia malah kemudian mengalihkan kepada rekannya. Saya hanya bisa menunggu, duduk sambil mengamati harga-harga bingkai yang tidak bisa dibilang murah.
Semenit kemudian petugas datang. Saya menyampaikan keluhan, dan benar saja, lensa kaca saya yang terbilang tidak biasa, harus diorder dari Jakarta membutuhkan waktu 1 minggu. Adakah solusi alternatif?

Kembali muncul ketakutan-kekhawatiran di kepala. Gungde ke dokter, pekerjaan kantor menumpuk dsbnya. Semuanya adalah kecemasan. Sampai disini baru saya sadar betapa vital kacamata. Seringkali saya merasa kehilangan ketika sesuatu benar-benar hilang. Kebodohan yang tidak baik untuk dipelihara.

Memakai softlens alias lensa kontak saya ajukan kepada sang petugas. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Meski adik saya, Gungti, sudah menggunakannya bertahun-tahun saya tidak pernah tertarik untuk mengikutinya. Alasan biaya, tidak praktis, aneh itu yang selalu menempel di benak.
Tetapi untuk kondisi saat ini, apapun akan saya upayakan, asalkan segera bisa melihat.

Petugas bertanya tentang jumlah minus juga silinder untuk mengukur cacat mata saya. Ingatan yang sengaja saya lupakan. Dari alat yang ia miliki ia segera tahu meski kemudian saya tetap harus melalui rangkaian pemeriksaan mata. Membaca huruf dan menebak angka. Hasilnya minus bertambah tetapi silinder sedikit berkurang. Minus 5,5 dan silinder 2,5.

Sembari menunggu sang petugas mencari lensa kontak yang sesuai, saya keluarkan HP dari celana. SMS istri, karena perasaan bersalah dengan berwajah masam dan berkata ketus di rumah tadi. Mitha, masih tidak tahu kecemasan saya. Tetapi SMS balasannya sangat membantu.
Petugas menghampiri sambil berkata maaf lensa kontak untuk silinder saya tidak tersedia. Saya hanya bisa pasrah, sambil memintanya memberi solusi. Ia menawarkan lensa kontak minus saja, saya mengangguk meski tahu mata saya tidak akan bisa melihat dengan fokus. Menit berikutnya ia mengenakan bundaran plastik itu ke mata saya. Sesuatu yang aneh dan perih terasa, mata saya berair. Setelahnya saya mulai bisa melihat lebih jelas. Petugas itu lelaki berkumis agak putih dan berkacamata plastik. Kemajuan berarti dari sebelumnya yang hanya bisa mengamati bayangan dan mencium parfum.

Menit-menit berlalu mata saya mencoba menyesuaikan dengan 2 (dua) benda aneh menempel di bola mata. Nando, nama sang petugas, menawarkan beberapa bingkai kacamata. Semuanya menarik tetapi dengan harga yang sekali lagi tidak murah. 1 – 2 juta. Saya mengiyakan salah satunya. Berikutnya adalah pelajaran melepas dan memakai lensa kontak. Tidak terasa 2 (dua) jam sudah Nando dengan sabar melayani (kata-kata yang aneh bagi saya, terlebih dengan seorang lelaki). Ia sabar, tetapi saya yang tidak sabar merepotkannya. Setelah cukup paham saya membayar semuanya dengan angsuran. Saya mengganti kacamata dengan plastikmata meski dengan harga lebih mahal. Cukup sekali pecah dalam 13 tahun karir saya berkacamata. Pelayanan yang memuaskan itu segera saya akhiri dengan perkenalan nama dan hormat bersalaman sembari menganggukan kepala secara tulus. Terima kasih.
Saya mungkin beruntung karena optik itu tidak ramai sehingga bantuan yang saya dapatkan cukup total dan intens. 2 jam lebih. Layanan privasi yang tidak pernah saya beri dalam kapasitas pekerjaan saya memberi jasa layanan pendidikan.

Dengan plastikmata saya cukup menunggu 4 hari. Dan selama itu saya akan menggunakan lensa kontak. Tidak terlalu buruk.

Komentar pembaca:
Makae tho Jung lain kali hati2, kalo gini kita semuakan yang ikut repot. Yo wis ayo segera kita selesaikan voucernya hehehe…. Kaca mata hitam untuk ibu!!!!!!

Labels:

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

De ngling TuDE, begitulah Hidup. Semuanya akan terjadi, tiada penghalang yang mampu menghalangi, Tapi jangan pasrah tanpa usaha ya

blidane.wordpress.com

August 2, 2007 at 4:16 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Google