Tuesday, August 14, 2007

Profesionalitas berorganisasi [1]

Kemauan vs kemampuan
Mendengar kata profesional sering kita menyandingkan dengan pekerjaan yang menghasilkan profit (uang), sekaligus lawan kata amatir. Amatir disederhanakan menjadi istilah bagi mereka yang baru belajar, mencoba-coba, mengerjakan sesuatu hobby yang jika tidak dilakukanpun tidak memberi akibat langsung.

Bagi seorang organisatoris, profesionalitas berorganisasi menjadi sebuah tuntutan. Yang bekerja di kantor dan mendapat gaji, hasil profesionalitas kerja anda dinilai oleh atasan melalui reward and punishment. Untuk yang “mengabdi” di organisasi nirlaba, semacam organisasi mahasiswa, karang taruna, dsbnya profesional berbeda tipis dengan amatir. Mengapa umumnya demikian ?

Jargon profesionalitas berorganisasi berulangkali kita dengar di awal-awal kepengurusan atau seringkali menjadi kata-kata magis yang mengundang semut-semut mencicipi janji pengurus organisasi dengan menjadi anggotanya. Realitasnya kemudian, anggota menyaksikan para pengurus yang sering datang terlambat, proker yang tidak berjalan, keuangan organisasi yang minim, dsbnya. Apa yang salah dengan kata-kata manis ini?

Dimanapun kita berada, kita bekerja, profesional adalah profesional. Bukan tempat yang membentuk kita melainkan kita yang membentuk tempat/wadah. Profesionalitas kemudian menjadi sikap/karakter pribadi. Apakah kita menjadi leader atau sekedar follower? Jika anda seorang leader, anda mempunyai kesempatan untuk menularkan karakter. Menjadi follower membuat anda terjebak dalam sikap amatiran pengurus, kehilangan kesempatan mengembangkan karakter pribadi, kehilangan waktu dengan sia-sia, membuang-buang uang dan tenaga. Untuk apa?

Dalam wadah yang namanya organisasi seorang pengurus dituntut untuk memiliki komitmen dan kompetensi yang memadai. Komitmen bukan sekedar kemauan tetapi janji / kontrak pengurus. Kompetensi adalah kemampuan melakukan sesuatu yang benar dengan benar (efektif & efisien). Sangat jarang seorang pengurus memiliki komitmen sekaligus kompetensi. Yang jamak terjadi adalah seseorang memiliki kemauan tanpa kemampuan, kemampuan tanpa kemauan, atau bahkan tidak dua-duanya. Pengurus tipe terakhir ini, bukannya sedikit ada di tiap organisasi. Menyebabkan organisasi tersebut macet rodanya, malas bekerja, tidak berkomunikasi apalagi saling berkoordinasi. Sekarat istilah pak dukun alias bankrupt (bangkrut).

Pada akhirnya kita tiba pada sebuah pilihan. Kemauan atau kemampuan yang lebih penting? Bukan pilihan yang sulit. Kita tahu dan sadar kemauanlah yang menggerakkan segala sesuatu, termasuk menjadikan seseorang belajar sehingga mampu bekerja. Sebaliknya meski sumber daya manusia (SDM) anda mampu tapi tanpa kemauan, organisasi anda hanya akan berputar-putar antara konsep dan pemikiran.

Tulisan ini tentu tidak ingin menyederhanakan profesionalitas menjadi sekedar kemauan. Melainkan untuk menggarisbawahi inti dari profesionalitas adalah kemauan. Kembali ke organisasi, yang menjadikan anda seorang anggota, pengurus, adalah kemauan bukan?
Jika bukan, sebaiknya anda pikirkan lagi nasib sebagai seorang follower। Jika anda bergabung dalam organisasi memang atas kemauan sendiri, pertanyaan kemudian : apakah anda ingin mengembangkan karakter dan kemampuan bersama organisasi? bila jawaban anda iya, jadilah profesioal. Bila tidak, anda memang amatir. Maaf.
Sumber : http://partanta.com/?p=97

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

Google