STOP paradigma konflik antar agama
Belakangan kembali muncul berita Hindu vs Hindu Bali yang disebar melalui milis dsbnya. Tanpa bermaksud memperkeruh suasana, saya kutipkan sumber berita tersebut:
“Hindu versus Hindu Bali”
Oleh: Adian Husaini
Majalah Hindu RADTIYA edisi Maret 2007 ini menulis laporan utamanya
dengan judul “Hindu versus Hindu Bali”. Majalah ini menggambarkan
kondisi perpecahan dalam tubuh agama Hindu Bali yang akhirnya berujung
pada pemunculan agama baru bernama “Hindu Bali” yang berbeda dengan
agama Hindu. Pemimpin Redaksi Majalah ini, Putu Setia, menulis kolom
editorial berjudul “Kenapa Saya Tetap Hindu (dan bukan Hindu Bali).”
Agama baru yang bernama Hindu Bali itu kini sudah resmi diayomi oleh
Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yang resmi dikibarkan pada 28
Januari 2007. Secara nasional, agama Hindu bernaung di bawah Parisada
Hindu Darma Indonesia (PHDI). Tetapi, sudah sejak tahun 2001, terjadi
dualisme dalam kepengurusan PHDI Bali, yaitu PHDI versi Besakih dan
PHDI versi Campuan.
Perpecahan di kalangan tokoh agama Hindu di Bali ini telah menimbulkan
kebingungan dan kemarahan di kalangan umat Hindu sendiri, seperti
diutarakan oleh Jero Mangku Oka Swadiana dalam surat pembaca di Majalah
ini. Dia menulis: “Dualisme inilah yang membuat kebingungan umat Hindu
di Bali yang menandakan kekerdilan cara berpikir tokoh-tokoh agama
Hindu yang hanya berani bertengkar secara intern di kalangan umat Hindu
sendiri.”
Penulis surat pembaca ini mengecam pembentukan PHDB, dengan menyatakan,
bahwa pembentukan PHDB adalah akibat rasa ego, fanatik, kemunafikan,
dan jiwa kerdil tokoh-tokoh agama. “Namun kami sarankan kepada seluruh
umat janganlah terpengaruh terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk
oknum-oknum tertentu, apapun namanya, berapa pun banyaknya. Jika memang
tidak ada manfaatnya untuk kerukunan, ketentraman, kesejahteraan umat,
anggap saja itu tidak ada.”
Putu Setia juga tidak kalah keras dalam mengkritik pembentukan Agama
Baru Hindu Bali ini. Dia mengakui, para pendiri PHDB adalah tokoh-tokoh
yang dihormatinya, para intelektual, tempatnya berguru, dan menjadi
idolanya. “Jadi ini pasti persoalan yang serius, kembali ke agama Hindu
Bali, yang memang agama yang dipeluk resmi oleh orang Bali sebelum
1960-an,” tulis Putu, yang juga dikenal sebagai wartawan senior.
Setelah mempelajari duduk persoalan dan Piagam Samuan Tiga - piagam
pendirian Agama Hindu Bali—Putu Setia memutuskan “saya memutuskan
untuk tetap beragama Hindu, dan bukan Hindu Bali.”
Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, agama Hindu Bali memiliki
sejumlah ajaran yang khas, sebagaimana disebutkan dalam Piagam Samuan
Tiga. Misalnya: (1) Dasar pelaksanaan agama yang mengacu pada Weda
Sruti, Weda Smerti Darsana, Tantra dan kearifan lokal yang disarikan
dalam lontar-lontar; (2) Landasan keimanan (Sradha) kepada Tuhan adalah
Siwa Tatwa dengan Paham Monoteisme (Eka Twa Aneka Twa Swa Laksana
Batara); (3) Menyembah Tuhan (Sang Hyang Widhi) lebih khusus disebut
Bhatara Siwa, Dewa Dewi, dan Hyang leluhur; (4) Mempunyai pemujaan yang
disebut Sanggah/Pemerajan dan Pura; (5) Melaksanakan upacara Panca
Yadnya menggunakan sarana banten dengan pekemnya yang khas dipimpin
oleh Wiku Huwus Kertha Diksita dan Pemangku dengan atribut serta sesana
yang khas pula; dan (6) Agama Hindu yang menjadikan Sosio-kultural Bali
sebagai media pelaksananya.
Putu Setia mengkritik sejumlah dasar-dasar ajaran agama Hindu Bali
tersebut. Dia katakan, bahwa jika agama Hindu Bali mengacu pada Weda
Smerti dan seterusnya yang sudah disarikan dalam lontar, maka itu
adalah suatu “pembodohan luar biasa”. Menurut Putu, lontar adalah
sarana tulis menulis, bukan sesuatu yang dikeramatkan. Di masa lalu,
Weda memang disarikan dalam lontar, karena lontar adalah sarana
satu-satunya setelah selesai zaman batu dan zaman kayu. Putu
mempertanyakan, kenapa “alat” ini yang dijadikan rujukan? Apakah Weda
yang sekarang ini ditulis dalam buku atau dalam file komputer tidak
dapat dijadikan rujukan. Lagi pula apakah seluruh Catur Weda itu sudah
disarikan dalam lontar? Karena merasa aneh dengan ajaran itu, Putu
Setia menegaskan, “Ini sesuatu yang aneh, karena itu point pertama
Piagam Samuan Tiga langsung membuat saya tidak mau kembali ke agama
Hindu Bali. Maaf, nalar saya masih jalan.”
Putu juga tersentak ketika membaca poin ketiga. Menurutnya, meskipun
dia adalah penganut Siwa Tatwa, tetapi leluhurnya mengajarkan menyembah
tiga dewa utama yang disebut Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Konsep
Tri Kahyangan masih tetap hidup di Bali, karena itu dewa yang dipuja
tak hanya Bhatara Siwa, juga Brahma dan Wisnu. Dalam soal banten
(sesajen), Putu mengaku telah lama menganjurkan, agar orang Hindu
membuat banten yang disesuaikan dengan alam Bali, karena hakekat banten
adalah mempersembahkan alam sekitar.”Bukan buah apel atau peer dari
Amerika. Lihat kenyataan saat ini, bertruk-truk janur datang dari Jawa,
kenapa kita memperkaya orang Jawa dan memiskinkan orang Bali untuk
membuat banten yang besar-besar? Kenapa banten tidak disesuaikan dengan
kemampuan, baik kemampuan diri sendiri maupun kemampuan alam sekitar
yang menopangnya? Orang Bali jual tanah untuk beli janur, orang Jawa
beli tanah dengan menjual janur, ayam, itik, dan lainnya,” tulis Putu
mengkritik tradisi di Bali.
Meskipun mendapat kritik dan tentangan, PDHB tetap jalan terus. Menurut
Ketua Harian PDHB, Ia Bagus Putu Sudarsana, PDHB adalah usaha kembali
ke jati diri, sesuai asal mula pembentukan Parisada Hindu tahun 1959.
”Jadi agama yang ada dan dicita-citakan sejak dulu itu adalah agama
Hindu Bali,” ujarnya kepada majalah RADITYA.
Dengan terbentuknya PDHB, berarti lembaga ini mencita-citakan suatu
model praktik beragama yang khas Bali. “Cita-cita kami adalah
mengajegkan Agama Hindu Bali yang dipraktikkan sejak masa silam. Namun
jangan salah makna, Bali di sini tidak menunjuk tempat. Namun agama
Hindu Bali maksudnya adalah umat Hindu yang dalam praktik beragamanya
menggunakan banten, maka ia termasuk pemeluk agama Hindu Bali, di mana
pun mereka berada,” jelas IB Sudarsana.
Dalam programnya, PDHB hanya mengkhususkan untuk membina umat yang
mempraktikkan agama Hindu Bali saja; agama Hindu lainnya atau yang
tidak ada embel-embelnya tentu tidak akan dibina. Pedoman penting agama
Hindu Bali adalah Weda yang diterjemahkan dalam lontar, dan Weda yang
diterjemahkan dalam buku-buku, tidak dipakai oleh agama Hindu Bali.
Keputusan untuk menggunakan Weda yang dari lontar ini dikritik juga
oleh I. Ketut Wiana, ketua Sabha Walaka PHDI Pusat. Dia menyatakan,
bahwa hal itu adalah langkah mundur PDHB.
Menurut kajiannya, lontar adalah berbagai catatan tentang cara-cara
beragama orang Bali di masa lalu. Kini, masa lalu telah lewat, jadi ada
lontar yang cocok dengan zaman kini dan ada yang perlu direvisi, dengan
menggunakan rujukan Weda. “Mestinya kalau kembali ke jati diri, ya
kembali kepada Weda sebagai penuntun agama Hindu, bukan ke lontar,”
kata Ketut Wiana.
Walhasil, PDHB lahir untuk menegaskan eksistensi agama Hindu Bali.
Seorang tokohnya menyatakan, “Biarlah ada Hindu Jawa, Hindu Tengger,
Hindu Kaharingan, karena kita memang berbeda-beda. Soal Hindu Nusantara
atau Hindu Indonesia, silakan itu menjadi urusan PHDI.”
Begitulah berita terbaru dari kasus konflik internal dalam agama Hindu
sebagaimana ditulis dalam Majalah RADITYA, sebuah majalah Hindu pertama
di Indonesia. Sebagai Muslim kita bisa mengambil banyak pelajaran dari
kasus tersebut. Berbeda dengan tradisi dalam Hindu, Islam sangatlah
ketat dalam soal dasar agama, terutama Al-Quran.
Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang tidak diperselisihkan
sepanjang zaman. Al-Quran tetap dalam bahasa Arab dan umat Islam
sedunia sekarang berpegang pada mushaf yang sama, yaitu mushaf Utsmani.
Al-Quran kita yakini sebagai wahyu Allah yang diturunkan bukan hanya
untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh umat manusia, karena itu umat
Islam tidak memerlukan Al-Quran edisi revisi atau Al-Quran edisi kritis
seperti yang digagas oleh kaum orientalis atau Islam Liberal. (Untuk
gagasan Al-Quran Edisi Kritis, lihat tulisan Taufik Adnan Amal berjudul
”Edisi Kritis Alquran” dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
terbitan JIL, 2002).
Dengan sifat otentisitas dan finalitas Al-Quran sebagai sumber utama
agama Islam, maka Islam juga masih menjadi agama yang satu, dengan
Tuhan yang satu, kiblat yang satu, Nabi uswah hasanah yang satu, dan
ritual yang satu. Sehingga, tidak perlu muncul “Islam Jawa”, “Islam
Sumatra”, “Islam Bali”, “Islam Hongkong”, “Islam Arab”, “Islam Amerika”
dan sebagainya. Islam adalah Islam. Di mana pun kita akan bertemu
dengan orang Islam yang membaca Al-Quran yang sama, melafazkan nama
Tuhannya dengan bacaan yang sama, bertakbir dengan ucapan yang sama,
bersujud dengan cara yang sama. Sebab, dalam keyakinan umat Islam,
Islam adalah agama wahyu, yang nama agama ini, Islam, diberikan
langsung oleh Allah melalui kitab Al-Quran.
Seharusnya, kaum Muslim tidak merusak nama “Islam” dengan menambahkan
berbagai embel-embel yang akhirnya justru bisa mengaburkan makna Islam
itu sendiri, seperti “Islam fundamentalis” , “Islam inklusif”, “Islam
Protestan”, “Islam Liberal”, “Islam Jawa”, dan sebagainya. Ini berbeda
dengan tradisi Yahudi, Kristen, Hindu, dan sebagainya, yang telah biasa
dengan “pluralitas agama” dalam agama. Karena itu, dalam Islam, ada
pembatasan yang ketat dalam soal batas-batas keislaman. Ada rukun iman
dan rukun Islam.
Dunia Islam, misalnya, sepakat bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar
Islam, karena memiliki nabi sendiri dan kitab suci lain disamping
Al-Quran. Meskipun mereka tetap mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Nabi
dan menerima Al-Quran sebagai Kitab Suci mereka.
Kita pernah disuguhi iklan “Islam warna-warni” di berbagai setasiun TV.
Pada satu sisi, kita diajak untuk menerima kenyataan bahwa dalam Islam
ada berbagai perbedaan. Tetapi, sayangnya, iklan itu tidak menjelaskan,
bahwa perbedaan itu ada batasnya, sehingga tetap layak disebut sebagai
”Islam”. Karena itu ada “syahadat” dalam Islam. Menteri Agama RI pernah
mengusulkan kepada Ahmadiyah agar mereka membuat agama baru, karena
memiliki perbedaan yang mendasar dengan umat Islam lainnya. Jika
seseorang atau satu kelompok tidak lagi meyakini bahwa Allah SWT adalah
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, sudah tidak percaya lagi bahwa
Al-Quran adalah wahyu dari Allah, dan tidak percaya lagi bahwa Nabi
Muhammad saw adalah nabi terakhir dan uswah hasanah, maka pada
hekekatnya, orang atau kelompok tersebut tentulah sulit masih layak
dimasukkan ke dalam kategori Islam.
Apa yang sudah menimpa kaum Yahudi, Kristen, dan Hindu, perlu menjadi
pelajaran bagi umat Islam. Karena itulah, Al-Quran banyak menjelaskan
tentang kondisi kaum Yahudi dan Nasrani dan juga memerintahkan kita
agar berjalan di muka bumi dan melakukan pengamatan terhadap berbagai
kaum yang lain. Para ulama kita pun dulu banyak sekali melakukan kajian
yang mendalam terhadap agama-agama selain Islam. Wallahu a’lam. [depok,
Maret 2007/www.hidayatullah.com]
Artikel diatas sempat dibahas di milis Hindu Dharma Net dan mendapat tanggapan oleh Ngakan Putu Putra sbb:
OM Svastyastu,
Hindu Bali Agama Baru?
“Hindu Bali” agama baru? Bagaimana penjelasannya? Karena ada Parisada Dharma Hindu Bali pada bulan Januari lalu, maka itu berarti ada agama Hindu Bali? Bukankah Parisada Hindu Bali sudah ada sejak tahun 1959? Jadi ini agama lama yang dihidupkan kembali? Saya pikir penjelasan tidak demikian. Kelahiran satu organisasi tidak sama dengan kelahiran satu agama. Agama Hindu Bali, dengan nama yang berbeda, adalah agama, yang telah kita praktekkan sejak dulu kala, sebelum adanya organisasi keagamaan itu, hingga sekarang. Coba lihat praktek keagamaan yang kita lakukan, sejak sembahyang Purnama Tilem, Pujawali, hari raya Galungan Kuningan, sampai upacara pitra yadnya. Upakaranya pakai sajen, sajen Bali, Sulinggihnya pakai Weda yang tercatat dalam lontar Bali, bukan Weda seperti yang diterjemahkan oleh Svami Satya Prakash Saraswati dan Vidyalankar dan Udaya Vir Viraj, pemangkunya pakai sehe bahasa Bali, tarian, kidung dan gamelan Bali. Juga pakaian Bali. (Kalau lagi di Tukiyo
atau Nyuyok tentu tidak pakai sajen. Tapi ini kan pengecualian, mungkin sekali seumur hidup).
Jadi benar juga kalau dikatakan di sini kita mempraktekkan agama Hindu melalui “sosio budaya Bali.” Beda pendapat boleh saja. Tapi faktanya seperti itu. Ambil contoh lain, yang dekat-dekat saja, tidak usah jauh-jauh : Nyepi yang telah menjadi hari raya resmi nasional di Indonesia. Siapa saja yang mempraktekkannya? Orang-orang Hindu etnis Bali, sebagian orang Hindu etnis Jawa dan Madura. Orang-orang Hindu Karo, Kaharingan, Tolotang, Toraja, Bugis, Salayar, Maluku dan India tidak melakukannya. (Sampradaya Hare Krishna mempunyai panditanya sendiri, hari rayanya sendiri. Apakah ikut Nyepi?)
Bila melihat realitas, yang nyata ada adalah Hindu Bali, Hindu Kaharingan dst. Yang disebut Hindu Dharma Indonesia, atau Hindu Indonesia mana? Tidak ada! Di samping penampilan luar, sikap mental kita juga masih Hindu Bali. Waktu MS IX yang diributkan soal Hindu di Bali. Mana ada yang mikirkan Hindu India, Hindu Karo, Toraja dll.
Hindu Indonesia itu hanya sebuah konstruksi sosial politik untuk tujuan pembinaan seluruh orang yang mengaku Hindu di negara Indonesia
Benar Hindu memang satu, yaitu agama yang berdasarkan Weda. Tetapi di dalam Hindu sendiri ada lebih banyak agama dari pada di luarnya. Maksudnya, di dalam Hindu ada berbagai sekte, sampradaya, dan Hindu yang dilaksanakan melalui budaya setempat (PDHB mengatakan “sosio-budaya” Bali). Dan ini diakui dan dihormati oleh semua orang Hindu.
Lahirnya Parisada Dharma Hindu Bali tidak sama dengan lahirnya agama baru yang bernama Hindu Bali. Ini soal yang sama sekali lain.
Secara pribadi saya lebih suka hanya ada satu majelis agama bagi orang Hindu di Indonesia. Dan dalam batas kapasitas saya, baik sebagai anggota Tim Rekonsiliasi yang dibentuk PHDI Pusat, yang beranggota empat orang, maupun sebagai Ketua SC MS IX saya telah ikut berupaya menyatukan kedua PHDI Bali. Tetapi gagal. Kenapa gagal? Baca saja tulisan saya soal ini di Media Hindu 38.
Pertemuan para Sulinggih dari kelompok Campuhan dan Besakih tanggal 3 Agustus 2006 di Unhi Denpasar, sungguh-sungguh memberi harapan. Bhagawan Dwija yang hadir pada waktu itu dapat memberi kesaksian. Tetapi rencana pertemuan lanjutan yang direncanakan tanggal 27 Agustus 2006 dibatalkan oleh Dharma Adhyaksa. Sayang sekali Dharma Adhyaksa, yang seharus mengendalikan suasana justru hanyut di dalam paradigma konflik dan balas dendam. Mengakui PHDI Campuhan saja tidak mau. Katanya tidak ada dualisme. Bagaimana mau menyelesaikan masalah, bila masalah itu sendiri tidak diakui. Seperti burung onta melihat bahaya, menyembunyikan kepalanya dalam pasir. Dan upaya penggagalan ini dilanjutkan di MS IX. Nah supaya dianggap ada, mereka lalu membentuk PDHB.
Pedanda Gunung, yang hadir dalam MS IX karena dibujuk banyak orang, termasuk Pak Mangku Pastika, dalam wawancara dengan saya tanggal 3 Peb 2007 (lihat MH 38), menyatakan andaikata saja beliau diterima masuk sebagai anggota Sabha Walaka, tidak usah ketua, keadaan di Bali akan cair. Dalam pertemuan saya dengan Pedanda, pada waktu MS IX, beliau setuju dengan konsep yang diajukan oleh SC, yaitu Sabha Pandita diberi wewenang pengawasan, dan Ketua Umum dipegang oleh Walaka. Hanya waktu itu Pedanda usul namanya jangan Ketua Umum, tetapi cukup Ketua Harian. Ini kan hanya masalah nomenklatur.
Pedanda Gunung sudah bersedia membuka diri demi persatuan di Bali. Artinya kalau Pedanda masuk sebagai anggota Sabha Pandita, masalah-masalah seperti Sarwa Sadaka, sampradaya, tentu dapat dibahas di internal Sabha Pandita. Komunikasi dan dialog adalah kunci untuk menyelesaikan masalah. Tetapi beliau dijegal, melalui rekayasa Tata Tertib. Semula dalam rancangan Tata Tertib ditentukan “anggota Sabha Pandita dipilih dari Peserta dan Peninjau yang hadir”. Ini mengikuti ketentuan AD/ART. Tetapi ketentuan ini dirobah, lebih tepat diperkosa, menjadi “anggota Sabha Pandita dipilih dari Peserta yang hadir”. Peninjau dihilangkan. Artinya hanya yang incumbent yang berhak dipilih. Ini melawan AD/ART dan juga konyol sekali. Ada pembelaan dari seorang pengurus PHDI Bali melalui surat pembaca di Bali Post, bahwa perobahan itu syah berdasarkan azas “lex specialis derogate lex generalis” (hukum khusus dapat menyingkirkan hukum umum). Ini aliran ilmu hukum mana? Ini tipu-tipu keblinger, membodohi masyarakat. Azas “lex specialis derogate lex generalis” bekerja seperti contoh ini. UU Tidak Pidana Korupsi dapat menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP mengatur tindak pidana secara umum, segala macam tindak pidana, pemalingan, korupsi, perampokan, percabulan dll. Sedangkan UU Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur tindak pidana tentang korupsi saja (khusus)
Tetapi ada azas lain yang sengaja diabaikan, yaitu peraturan yang lebih rendah tidak boleh melawan peraturan yang lebih tinggi. UU tidak boleh bertentangan dengan UUD. Jadi Tatib tidak boleh bertentangan dengan AD/ART.
Konyol, bila Tatib ini tidak dirobah dalam MS yang akan datang, Sabha Pandita satu saat tidak ada orangnya. Bila yang incumbent semua sudah meninggal, tidak ada yang bisa menggantikannya. Karena yang bukan incumbent (Peninjau) tidak boleh jadi anggota Sabha Pandita. Prihatin sekali bagaimana para Sulinggih menjerumuskan diri atau dijerumuskan dalam tindakan tak terpuji semacam itu.
Tetapi nasi sudah jadi bubur. Bubur juga enak dan bergizi bukan? Apa yang perlu dilakukan sekarang? Diterima saja apa adanya. Jangan saling menyalahkan. Wong yang salah diri kita masing-masing. Yang lebih penting, dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan seluruh umat, kedua organisasi ini mau bekerja sama. Pedanda Gede Made Gunung sudah menyatakan kesediaan dari pihak PDHB untuk hal ini.
Kembali kepada “Hindu versus Hindu Bali.” Ini keliru sekali! Hindu Kaharingan, Hindu Alukto Toraja, Hindu Karo, Hindu Bali, sekte : Waisnawa, Siwaisme, Shakta, Smarta dam sampradayanya, adalah bagian dari Hindu. Bukan musuhnya. Jadi untuk apa mengembangkan paradigma konflik? Saya prihatin.
Om santi, santi, santi Om
NPP.
Tanggapan Ngakan Putu Putra diatas cukup menjelaskan tentang Hindu। Pendapat saya setelah mempelajari agama-agama formal di Indonesia adalah masing-masing agama berbeda. Bahkan Gandhi mengatakan, jumlah agama di dunia sebanyak jumlah kepala manusia. Yang perlu digarisbawahi, sangat baik untuk melakukan studi perbandingan agama (dalam hal ini Hindu dan Islam). Dan satu lagi, stop paradigma konflik antar agama. Kita memang berbeda, bukan berarti kita tidak bisa saling menghormati bukan?
Sumber : http://partanta.com/?p=98
“Hindu versus Hindu Bali”
Oleh: Adian Husaini
Majalah Hindu RADTIYA edisi Maret 2007 ini menulis laporan utamanya
dengan judul “Hindu versus Hindu Bali”. Majalah ini menggambarkan
kondisi perpecahan dalam tubuh agama Hindu Bali yang akhirnya berujung
pada pemunculan agama baru bernama “Hindu Bali” yang berbeda dengan
agama Hindu. Pemimpin Redaksi Majalah ini, Putu Setia, menulis kolom
editorial berjudul “Kenapa Saya Tetap Hindu (dan bukan Hindu Bali).”
Agama baru yang bernama Hindu Bali itu kini sudah resmi diayomi oleh
Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yang resmi dikibarkan pada 28
Januari 2007. Secara nasional, agama Hindu bernaung di bawah Parisada
Hindu Darma Indonesia (PHDI). Tetapi, sudah sejak tahun 2001, terjadi
dualisme dalam kepengurusan PHDI Bali, yaitu PHDI versi Besakih dan
PHDI versi Campuan.
Perpecahan di kalangan tokoh agama Hindu di Bali ini telah menimbulkan
kebingungan dan kemarahan di kalangan umat Hindu sendiri, seperti
diutarakan oleh Jero Mangku Oka Swadiana dalam surat pembaca di Majalah
ini. Dia menulis: “Dualisme inilah yang membuat kebingungan umat Hindu
di Bali yang menandakan kekerdilan cara berpikir tokoh-tokoh agama
Hindu yang hanya berani bertengkar secara intern di kalangan umat Hindu
sendiri.”
Penulis surat pembaca ini mengecam pembentukan PHDB, dengan menyatakan,
bahwa pembentukan PHDB adalah akibat rasa ego, fanatik, kemunafikan,
dan jiwa kerdil tokoh-tokoh agama. “Namun kami sarankan kepada seluruh
umat janganlah terpengaruh terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk
oknum-oknum tertentu, apapun namanya, berapa pun banyaknya. Jika memang
tidak ada manfaatnya untuk kerukunan, ketentraman, kesejahteraan umat,
anggap saja itu tidak ada.”
Putu Setia juga tidak kalah keras dalam mengkritik pembentukan Agama
Baru Hindu Bali ini. Dia mengakui, para pendiri PHDB adalah tokoh-tokoh
yang dihormatinya, para intelektual, tempatnya berguru, dan menjadi
idolanya. “Jadi ini pasti persoalan yang serius, kembali ke agama Hindu
Bali, yang memang agama yang dipeluk resmi oleh orang Bali sebelum
1960-an,” tulis Putu, yang juga dikenal sebagai wartawan senior.
Setelah mempelajari duduk persoalan dan Piagam Samuan Tiga - piagam
pendirian Agama Hindu Bali—Putu Setia memutuskan “saya memutuskan
untuk tetap beragama Hindu, dan bukan Hindu Bali.”
Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, agama Hindu Bali memiliki
sejumlah ajaran yang khas, sebagaimana disebutkan dalam Piagam Samuan
Tiga. Misalnya: (1) Dasar pelaksanaan agama yang mengacu pada Weda
Sruti, Weda Smerti Darsana, Tantra dan kearifan lokal yang disarikan
dalam lontar-lontar; (2) Landasan keimanan (Sradha) kepada Tuhan adalah
Siwa Tatwa dengan Paham Monoteisme (Eka Twa Aneka Twa Swa Laksana
Batara); (3) Menyembah Tuhan (Sang Hyang Widhi) lebih khusus disebut
Bhatara Siwa, Dewa Dewi, dan Hyang leluhur; (4) Mempunyai pemujaan yang
disebut Sanggah/Pemerajan dan Pura; (5) Melaksanakan upacara Panca
Yadnya menggunakan sarana banten dengan pekemnya yang khas dipimpin
oleh Wiku Huwus Kertha Diksita dan Pemangku dengan atribut serta sesana
yang khas pula; dan (6) Agama Hindu yang menjadikan Sosio-kultural Bali
sebagai media pelaksananya.
Putu Setia mengkritik sejumlah dasar-dasar ajaran agama Hindu Bali
tersebut. Dia katakan, bahwa jika agama Hindu Bali mengacu pada Weda
Smerti dan seterusnya yang sudah disarikan dalam lontar, maka itu
adalah suatu “pembodohan luar biasa”. Menurut Putu, lontar adalah
sarana tulis menulis, bukan sesuatu yang dikeramatkan. Di masa lalu,
Weda memang disarikan dalam lontar, karena lontar adalah sarana
satu-satunya setelah selesai zaman batu dan zaman kayu. Putu
mempertanyakan, kenapa “alat” ini yang dijadikan rujukan? Apakah Weda
yang sekarang ini ditulis dalam buku atau dalam file komputer tidak
dapat dijadikan rujukan. Lagi pula apakah seluruh Catur Weda itu sudah
disarikan dalam lontar? Karena merasa aneh dengan ajaran itu, Putu
Setia menegaskan, “Ini sesuatu yang aneh, karena itu point pertama
Piagam Samuan Tiga langsung membuat saya tidak mau kembali ke agama
Hindu Bali. Maaf, nalar saya masih jalan.”
Putu juga tersentak ketika membaca poin ketiga. Menurutnya, meskipun
dia adalah penganut Siwa Tatwa, tetapi leluhurnya mengajarkan menyembah
tiga dewa utama yang disebut Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Konsep
Tri Kahyangan masih tetap hidup di Bali, karena itu dewa yang dipuja
tak hanya Bhatara Siwa, juga Brahma dan Wisnu. Dalam soal banten
(sesajen), Putu mengaku telah lama menganjurkan, agar orang Hindu
membuat banten yang disesuaikan dengan alam Bali, karena hakekat banten
adalah mempersembahkan alam sekitar.”Bukan buah apel atau peer dari
Amerika. Lihat kenyataan saat ini, bertruk-truk janur datang dari Jawa,
kenapa kita memperkaya orang Jawa dan memiskinkan orang Bali untuk
membuat banten yang besar-besar? Kenapa banten tidak disesuaikan dengan
kemampuan, baik kemampuan diri sendiri maupun kemampuan alam sekitar
yang menopangnya? Orang Bali jual tanah untuk beli janur, orang Jawa
beli tanah dengan menjual janur, ayam, itik, dan lainnya,” tulis Putu
mengkritik tradisi di Bali.
Meskipun mendapat kritik dan tentangan, PDHB tetap jalan terus. Menurut
Ketua Harian PDHB, Ia Bagus Putu Sudarsana, PDHB adalah usaha kembali
ke jati diri, sesuai asal mula pembentukan Parisada Hindu tahun 1959.
”Jadi agama yang ada dan dicita-citakan sejak dulu itu adalah agama
Hindu Bali,” ujarnya kepada majalah RADITYA.
Dengan terbentuknya PDHB, berarti lembaga ini mencita-citakan suatu
model praktik beragama yang khas Bali. “Cita-cita kami adalah
mengajegkan Agama Hindu Bali yang dipraktikkan sejak masa silam. Namun
jangan salah makna, Bali di sini tidak menunjuk tempat. Namun agama
Hindu Bali maksudnya adalah umat Hindu yang dalam praktik beragamanya
menggunakan banten, maka ia termasuk pemeluk agama Hindu Bali, di mana
pun mereka berada,” jelas IB Sudarsana.
Dalam programnya, PDHB hanya mengkhususkan untuk membina umat yang
mempraktikkan agama Hindu Bali saja; agama Hindu lainnya atau yang
tidak ada embel-embelnya tentu tidak akan dibina. Pedoman penting agama
Hindu Bali adalah Weda yang diterjemahkan dalam lontar, dan Weda yang
diterjemahkan dalam buku-buku, tidak dipakai oleh agama Hindu Bali.
Keputusan untuk menggunakan Weda yang dari lontar ini dikritik juga
oleh I. Ketut Wiana, ketua Sabha Walaka PHDI Pusat. Dia menyatakan,
bahwa hal itu adalah langkah mundur PDHB.
Menurut kajiannya, lontar adalah berbagai catatan tentang cara-cara
beragama orang Bali di masa lalu. Kini, masa lalu telah lewat, jadi ada
lontar yang cocok dengan zaman kini dan ada yang perlu direvisi, dengan
menggunakan rujukan Weda. “Mestinya kalau kembali ke jati diri, ya
kembali kepada Weda sebagai penuntun agama Hindu, bukan ke lontar,”
kata Ketut Wiana.
Walhasil, PDHB lahir untuk menegaskan eksistensi agama Hindu Bali.
Seorang tokohnya menyatakan, “Biarlah ada Hindu Jawa, Hindu Tengger,
Hindu Kaharingan, karena kita memang berbeda-beda. Soal Hindu Nusantara
atau Hindu Indonesia, silakan itu menjadi urusan PHDI.”
Begitulah berita terbaru dari kasus konflik internal dalam agama Hindu
sebagaimana ditulis dalam Majalah RADITYA, sebuah majalah Hindu pertama
di Indonesia. Sebagai Muslim kita bisa mengambil banyak pelajaran dari
kasus tersebut. Berbeda dengan tradisi dalam Hindu, Islam sangatlah
ketat dalam soal dasar agama, terutama Al-Quran.
Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang tidak diperselisihkan
sepanjang zaman. Al-Quran tetap dalam bahasa Arab dan umat Islam
sedunia sekarang berpegang pada mushaf yang sama, yaitu mushaf Utsmani.
Al-Quran kita yakini sebagai wahyu Allah yang diturunkan bukan hanya
untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh umat manusia, karena itu umat
Islam tidak memerlukan Al-Quran edisi revisi atau Al-Quran edisi kritis
seperti yang digagas oleh kaum orientalis atau Islam Liberal. (Untuk
gagasan Al-Quran Edisi Kritis, lihat tulisan Taufik Adnan Amal berjudul
”Edisi Kritis Alquran” dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
terbitan JIL, 2002).
Dengan sifat otentisitas dan finalitas Al-Quran sebagai sumber utama
agama Islam, maka Islam juga masih menjadi agama yang satu, dengan
Tuhan yang satu, kiblat yang satu, Nabi uswah hasanah yang satu, dan
ritual yang satu. Sehingga, tidak perlu muncul “Islam Jawa”, “Islam
Sumatra”, “Islam Bali”, “Islam Hongkong”, “Islam Arab”, “Islam Amerika”
dan sebagainya. Islam adalah Islam. Di mana pun kita akan bertemu
dengan orang Islam yang membaca Al-Quran yang sama, melafazkan nama
Tuhannya dengan bacaan yang sama, bertakbir dengan ucapan yang sama,
bersujud dengan cara yang sama. Sebab, dalam keyakinan umat Islam,
Islam adalah agama wahyu, yang nama agama ini, Islam, diberikan
langsung oleh Allah melalui kitab Al-Quran.
Seharusnya, kaum Muslim tidak merusak nama “Islam” dengan menambahkan
berbagai embel-embel yang akhirnya justru bisa mengaburkan makna Islam
itu sendiri, seperti “Islam fundamentalis” , “Islam inklusif”, “Islam
Protestan”, “Islam Liberal”, “Islam Jawa”, dan sebagainya. Ini berbeda
dengan tradisi Yahudi, Kristen, Hindu, dan sebagainya, yang telah biasa
dengan “pluralitas agama” dalam agama. Karena itu, dalam Islam, ada
pembatasan yang ketat dalam soal batas-batas keislaman. Ada rukun iman
dan rukun Islam.
Dunia Islam, misalnya, sepakat bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar
Islam, karena memiliki nabi sendiri dan kitab suci lain disamping
Al-Quran. Meskipun mereka tetap mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Nabi
dan menerima Al-Quran sebagai Kitab Suci mereka.
Kita pernah disuguhi iklan “Islam warna-warni” di berbagai setasiun TV.
Pada satu sisi, kita diajak untuk menerima kenyataan bahwa dalam Islam
ada berbagai perbedaan. Tetapi, sayangnya, iklan itu tidak menjelaskan,
bahwa perbedaan itu ada batasnya, sehingga tetap layak disebut sebagai
”Islam”. Karena itu ada “syahadat” dalam Islam. Menteri Agama RI pernah
mengusulkan kepada Ahmadiyah agar mereka membuat agama baru, karena
memiliki perbedaan yang mendasar dengan umat Islam lainnya. Jika
seseorang atau satu kelompok tidak lagi meyakini bahwa Allah SWT adalah
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, sudah tidak percaya lagi bahwa
Al-Quran adalah wahyu dari Allah, dan tidak percaya lagi bahwa Nabi
Muhammad saw adalah nabi terakhir dan uswah hasanah, maka pada
hekekatnya, orang atau kelompok tersebut tentulah sulit masih layak
dimasukkan ke dalam kategori Islam.
Apa yang sudah menimpa kaum Yahudi, Kristen, dan Hindu, perlu menjadi
pelajaran bagi umat Islam. Karena itulah, Al-Quran banyak menjelaskan
tentang kondisi kaum Yahudi dan Nasrani dan juga memerintahkan kita
agar berjalan di muka bumi dan melakukan pengamatan terhadap berbagai
kaum yang lain. Para ulama kita pun dulu banyak sekali melakukan kajian
yang mendalam terhadap agama-agama selain Islam. Wallahu a’lam. [depok,
Maret 2007/www.hidayatullah.com]
Artikel diatas sempat dibahas di milis Hindu Dharma Net dan mendapat tanggapan oleh Ngakan Putu Putra sbb:
OM Svastyastu,
Hindu Bali Agama Baru?
“Hindu Bali” agama baru? Bagaimana penjelasannya? Karena ada Parisada Dharma Hindu Bali pada bulan Januari lalu, maka itu berarti ada agama Hindu Bali? Bukankah Parisada Hindu Bali sudah ada sejak tahun 1959? Jadi ini agama lama yang dihidupkan kembali? Saya pikir penjelasan tidak demikian. Kelahiran satu organisasi tidak sama dengan kelahiran satu agama. Agama Hindu Bali, dengan nama yang berbeda, adalah agama, yang telah kita praktekkan sejak dulu kala, sebelum adanya organisasi keagamaan itu, hingga sekarang. Coba lihat praktek keagamaan yang kita lakukan, sejak sembahyang Purnama Tilem, Pujawali, hari raya Galungan Kuningan, sampai upacara pitra yadnya. Upakaranya pakai sajen, sajen Bali, Sulinggihnya pakai Weda yang tercatat dalam lontar Bali, bukan Weda seperti yang diterjemahkan oleh Svami Satya Prakash Saraswati dan Vidyalankar dan Udaya Vir Viraj, pemangkunya pakai sehe bahasa Bali, tarian, kidung dan gamelan Bali. Juga pakaian Bali. (Kalau lagi di Tukiyo
atau Nyuyok tentu tidak pakai sajen. Tapi ini kan pengecualian, mungkin sekali seumur hidup).
Jadi benar juga kalau dikatakan di sini kita mempraktekkan agama Hindu melalui “sosio budaya Bali.” Beda pendapat boleh saja. Tapi faktanya seperti itu. Ambil contoh lain, yang dekat-dekat saja, tidak usah jauh-jauh : Nyepi yang telah menjadi hari raya resmi nasional di Indonesia. Siapa saja yang mempraktekkannya? Orang-orang Hindu etnis Bali, sebagian orang Hindu etnis Jawa dan Madura. Orang-orang Hindu Karo, Kaharingan, Tolotang, Toraja, Bugis, Salayar, Maluku dan India tidak melakukannya. (Sampradaya Hare Krishna mempunyai panditanya sendiri, hari rayanya sendiri. Apakah ikut Nyepi?)
Bila melihat realitas, yang nyata ada adalah Hindu Bali, Hindu Kaharingan dst. Yang disebut Hindu Dharma Indonesia, atau Hindu Indonesia mana? Tidak ada! Di samping penampilan luar, sikap mental kita juga masih Hindu Bali. Waktu MS IX yang diributkan soal Hindu di Bali. Mana ada yang mikirkan Hindu India, Hindu Karo, Toraja dll.
Hindu Indonesia itu hanya sebuah konstruksi sosial politik untuk tujuan pembinaan seluruh orang yang mengaku Hindu di negara Indonesia
Benar Hindu memang satu, yaitu agama yang berdasarkan Weda. Tetapi di dalam Hindu sendiri ada lebih banyak agama dari pada di luarnya. Maksudnya, di dalam Hindu ada berbagai sekte, sampradaya, dan Hindu yang dilaksanakan melalui budaya setempat (PDHB mengatakan “sosio-budaya” Bali). Dan ini diakui dan dihormati oleh semua orang Hindu.
Lahirnya Parisada Dharma Hindu Bali tidak sama dengan lahirnya agama baru yang bernama Hindu Bali. Ini soal yang sama sekali lain.
Secara pribadi saya lebih suka hanya ada satu majelis agama bagi orang Hindu di Indonesia. Dan dalam batas kapasitas saya, baik sebagai anggota Tim Rekonsiliasi yang dibentuk PHDI Pusat, yang beranggota empat orang, maupun sebagai Ketua SC MS IX saya telah ikut berupaya menyatukan kedua PHDI Bali. Tetapi gagal. Kenapa gagal? Baca saja tulisan saya soal ini di Media Hindu 38.
Pertemuan para Sulinggih dari kelompok Campuhan dan Besakih tanggal 3 Agustus 2006 di Unhi Denpasar, sungguh-sungguh memberi harapan. Bhagawan Dwija yang hadir pada waktu itu dapat memberi kesaksian. Tetapi rencana pertemuan lanjutan yang direncanakan tanggal 27 Agustus 2006 dibatalkan oleh Dharma Adhyaksa. Sayang sekali Dharma Adhyaksa, yang seharus mengendalikan suasana justru hanyut di dalam paradigma konflik dan balas dendam. Mengakui PHDI Campuhan saja tidak mau. Katanya tidak ada dualisme. Bagaimana mau menyelesaikan masalah, bila masalah itu sendiri tidak diakui. Seperti burung onta melihat bahaya, menyembunyikan kepalanya dalam pasir. Dan upaya penggagalan ini dilanjutkan di MS IX. Nah supaya dianggap ada, mereka lalu membentuk PDHB.
Pedanda Gunung, yang hadir dalam MS IX karena dibujuk banyak orang, termasuk Pak Mangku Pastika, dalam wawancara dengan saya tanggal 3 Peb 2007 (lihat MH 38), menyatakan andaikata saja beliau diterima masuk sebagai anggota Sabha Walaka, tidak usah ketua, keadaan di Bali akan cair. Dalam pertemuan saya dengan Pedanda, pada waktu MS IX, beliau setuju dengan konsep yang diajukan oleh SC, yaitu Sabha Pandita diberi wewenang pengawasan, dan Ketua Umum dipegang oleh Walaka. Hanya waktu itu Pedanda usul namanya jangan Ketua Umum, tetapi cukup Ketua Harian. Ini kan hanya masalah nomenklatur.
Pedanda Gunung sudah bersedia membuka diri demi persatuan di Bali. Artinya kalau Pedanda masuk sebagai anggota Sabha Pandita, masalah-masalah seperti Sarwa Sadaka, sampradaya, tentu dapat dibahas di internal Sabha Pandita. Komunikasi dan dialog adalah kunci untuk menyelesaikan masalah. Tetapi beliau dijegal, melalui rekayasa Tata Tertib. Semula dalam rancangan Tata Tertib ditentukan “anggota Sabha Pandita dipilih dari Peserta dan Peninjau yang hadir”. Ini mengikuti ketentuan AD/ART. Tetapi ketentuan ini dirobah, lebih tepat diperkosa, menjadi “anggota Sabha Pandita dipilih dari Peserta yang hadir”. Peninjau dihilangkan. Artinya hanya yang incumbent yang berhak dipilih. Ini melawan AD/ART dan juga konyol sekali. Ada pembelaan dari seorang pengurus PHDI Bali melalui surat pembaca di Bali Post, bahwa perobahan itu syah berdasarkan azas “lex specialis derogate lex generalis” (hukum khusus dapat menyingkirkan hukum umum). Ini aliran ilmu hukum mana? Ini tipu-tipu keblinger, membodohi masyarakat. Azas “lex specialis derogate lex generalis” bekerja seperti contoh ini. UU Tidak Pidana Korupsi dapat menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP mengatur tindak pidana secara umum, segala macam tindak pidana, pemalingan, korupsi, perampokan, percabulan dll. Sedangkan UU Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur tindak pidana tentang korupsi saja (khusus)
Tetapi ada azas lain yang sengaja diabaikan, yaitu peraturan yang lebih rendah tidak boleh melawan peraturan yang lebih tinggi. UU tidak boleh bertentangan dengan UUD. Jadi Tatib tidak boleh bertentangan dengan AD/ART.
Konyol, bila Tatib ini tidak dirobah dalam MS yang akan datang, Sabha Pandita satu saat tidak ada orangnya. Bila yang incumbent semua sudah meninggal, tidak ada yang bisa menggantikannya. Karena yang bukan incumbent (Peninjau) tidak boleh jadi anggota Sabha Pandita. Prihatin sekali bagaimana para Sulinggih menjerumuskan diri atau dijerumuskan dalam tindakan tak terpuji semacam itu.
Tetapi nasi sudah jadi bubur. Bubur juga enak dan bergizi bukan? Apa yang perlu dilakukan sekarang? Diterima saja apa adanya. Jangan saling menyalahkan. Wong yang salah diri kita masing-masing. Yang lebih penting, dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan seluruh umat, kedua organisasi ini mau bekerja sama. Pedanda Gede Made Gunung sudah menyatakan kesediaan dari pihak PDHB untuk hal ini.
Kembali kepada “Hindu versus Hindu Bali.” Ini keliru sekali! Hindu Kaharingan, Hindu Alukto Toraja, Hindu Karo, Hindu Bali, sekte : Waisnawa, Siwaisme, Shakta, Smarta dam sampradayanya, adalah bagian dari Hindu. Bukan musuhnya. Jadi untuk apa mengembangkan paradigma konflik? Saya prihatin.
Om santi, santi, santi Om
NPP.
Tanggapan Ngakan Putu Putra diatas cukup menjelaskan tentang Hindu। Pendapat saya setelah mempelajari agama-agama formal di Indonesia adalah masing-masing agama berbeda. Bahkan Gandhi mengatakan, jumlah agama di dunia sebanyak jumlah kepala manusia. Yang perlu digarisbawahi, sangat baik untuk melakukan studi perbandingan agama (dalam hal ini Hindu dan Islam). Dan satu lagi, stop paradigma konflik antar agama. Kita memang berbeda, bukan berarti kita tidak bisa saling menghormati bukan?
Sumber : http://partanta.com/?p=98
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home